Minggu, 18 April 2010

Unforgettable Experience In My Life


One night in my life, October 14, 2009. I want to make changes in my life. Want to express a feeling that has been kept for a long time. To one person who could always make me crazy. With courage I send one message to him. I told him not to reply to my message before he knew the intent of the message. There was no reply that night, I do not know why. Maybe he was angry with me. Maybe he hates me. But I try to stay positive thinking, maybe he did not understand my message. Ouch..!

The next morning at school. I told everything to my friends. They give me encouragement. (Thanks to my friends). There's no sign he will reply to my message. I've already prepared with all what happened. In the last lesson, she had returned my message. But not the slightest mention my message last night. And he called me. Asking my whereabouts. He came to me. God, help me. Face to face with him. Oh, no..! Long time since I've never met him, and once met he asked my feelings to him. He told me that he did not understand the meaning of the word Aishiteru. Oh my God. He studied Japanese language right? But why did he not know? Whatever. When he asked the purpose my message last night, I could only smile and could not explain. How stupid of me! We both just shut up. Maybe he was bored with my attitude, he finally went away from me. (At the time I was grateful, I could still breathe so nervous). Finally he sent a message to me, asking for the actual intent. And finally I admitted that I loved him. And, thank God, she love me back. Finally we can share the joys and sorrows.


Storms ever to hit our small boat. Trivial problems that made me could not help my ego. I'm too childish and he's being pretentious adults. February 25, 2010, I decided to end our relationship that has been woven over 134 days. But we can only survive 10 days in solitude which is painful. March 7, 2010, which unites our love is returned. Thank God. I never could imagine how my life without him. Aishiteru, Pi ...

I am one wing and you are equally the other.

Unforgettable Experience In His Life


One night in my life, October 14, 2009. I got a message from my friend, my junior high school friend who had 2 this year we lost contact. And only days ago we began to establish communication again. The contents of that message made me unable to sleep. New this time there was a girl who would declare her feelings to me. Amazing. Really, it makes me float. I just do not understand one word, Aishiteru. Makes me more and could not sleep.

The next day at school, I asked here and there about the meaning of the word Aishiteru to my friends. Lucky they know. Finally all of my anxiety has missed. Makes my heart beat fast growing. Only I'm just too stupid. Why do not realize it at the beginning. I study Japanese right? But why I do not understand the meaning of the word Aishiteru? How stupid I am.

After school I called the girl. Asking existence. In the spirit of burning me to see the girl. No words were spoken from her mouth. Not the slightest mention of her message. The girl was actually busy with e-mails. It makes me ask, what's with this girl? Weird. With all the courage I asked about the message and the girl just smiled at me. No explanation that comes out of her mouth. Oh my God. Because chased time, finally I get home. Leave the girl. Because it is still curious about the girl's attitude, I finally sent a message to the girl. Asking actual intent. And then she admitted that she loved me. After the incident, then I knew that she had started writing about me in her diary since August 3, 2006. Amazing. Thank you for being part of my life.

Rabu, 31 Maret 2010

Pembunuh Facebook

Pembunuh Facebook Dijatuhi Hukuman.
Facebook atau situs jejaring sosial yang kini banyak membuat orang-orang tergila-gila dan addicted atau kecanduan. Bahkan tidak jarang bagi beberapa orang, dunia internet identik hanya untuk membuka situs seperti ini.
Facebook (atau sering disebut FB) menjadi salah satu situs social networking yang paling besar, khususnya di Indonesia. Facebook menyediakan banyak fitur yang dimiliki oleh situs social networking pada umumnya, seperti menambah daftar teman, saling mengirim pesan atau message, posting foto, membuat pengumuman, membuat komunitas atau grup, dan sebagainya.

Dalam ber-facebook pun ada etikanya, salah satunya seperti dikutip dari Detik|net, bahwa status hubungan Anda adalah keputusan bersama pasangan. Jangan pernah mengubah-ubah status hubungan Anda dan pasangan. Banyak kasus buruk terjadi akibat seseorang merubah statusnya secara sepihak. Inilah yang terjadi pada Hayley Jones. Seperti yang dilansir INILAH.com, dengan judul berita “Pembunuh Facebook Dijatuhi Hukuman”, yang menyebutkan bahwa gara-gara Facebook dua orang menderita. Seorang wanita tewas dibunuh hanya karena mengubah status dari “menikah” menjadi “single”. Sedangkan pasangannya, Brian Lewis, yang membunuh karena cemburu harus meringkuk di penjara seumur hidupnya.

Nah, sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah Facebook benar-benar telah dibunuh? Bukankah Hayley yang dibunuh oleh Lewis karena mengubah status di Facebook-nya?

Mari kita cermati kalimat “Pembunuh Facebook Dijatuhi Hukuman”. Kalimat ini bermakna, bahwa ada subjek, yaitu ada seseorang (Lewis) yang membunuh Facebook berkedudukan sebagai subjek. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata membunuh mempunyai arti menghilangkan (menghabisi; mencabut) nyawa; mematikan: ia dihukum mati karena merampok dan - beberapa orang; 2 menghapus (tulisan); memadamkan (api, dsb); menutup (yang bocor, pancuran, dsb). Sedangkan Facebook itu tidak bernyawa.
Subjek (Pembunuh Facebook) dikenakan pekerjaan, berupa dijatuhi sesuatu. Sedangkan objek dalam kalimat di atas adalah hukuman (berupa penjara seumur hidup).
Dengan bahasa yang mudah, makna kalimat “Pembunuh Facebook Dijatuhi Hukuman” adalah, ada seseorang yang membunuh Facebook kemudian mendapat hukuman (tidak harus penjara seumur hidup) oleh aparat yang berwajib.

Mari kita cermati kalimat berikut:
1.Pembunuh Hayley dijatuhi hukuman. Artinya, ada seseorang yang membunuh Hayley kemudian dihukum.
2.Pembunuh Facebook dijatuhi hukuman. Artinya, ada seseorang yang membunuh Facebook kemudian dihukum.
3.Pembunuh Mr. X dijatuhi hukuman. Artinya, ada seseorang yang membunuh Mr. X kemudian dihukum.

Jadi, kalimat yang benar adalah Pembunuh Hayley dijatuhi hukuman. Dan bukan pembunuh Facebook dijatuhi hukuman. Karena dalam kasus tersebut yang dibunuh Hayley bukan Facebook.
Marilah kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk Indonesia yang lebih baik.

Kamis, 25 Maret 2010

Jeepney


Jeepneys are the most popular means of public transportation in the Philippines. They were originally made from US military jeeps left over from World War II and are well known for their flamboyant decoration and crowded seating. They have also become a symbol of Philippine culture.

The word Jeepney is a portmanteau of "jeep" and "Jitney.

Senin, 22 Maret 2010

Fernsehturm Berlin



Fernsehturm Berlin (yang dalam bahasa Jerman berarti Menara Televisi Berlin) adalah menara televisi yang terletak di pusat kota Berlin, Jerman. Menara ini adalah salah satu markah tanah yang terkenal di Berlin, dan terletak sangat dekat dengan Alexanderplatz, menara ini dibangun antara tahun 1965 dan 1969 oleh Republik Demokratik Jerman. Oleh pengurus GDR menara ini dianggap sebagai simbol kota Berlin, sampai sekarang, dikarenakan menara ini dapat terlihat dari distrik sentral dan pinggiran kota Berlin.

Ketinggian menara ini mencapai 365 meter (1198 kaki), namun bertambah menjadi 368 meter (1207 kaki) setelah menara tersebut dipasangi antena. Fernsehturm adalah menara berdiri bebas keempat tertinggi di Eropa, setelah Menara Ostankino di Moskow, dan Menara Televisi Kiev dan Menara Televisi Riga.

Atraksi pengunjung

Di sini terletak platform bagi pengunjung dan restoran berputar di atasnya. Platform ini berada di ketinggian 204 meter (669 kaki) di atas tanah dan dapat melihat sejauh 42 kilometer (26 mil) pada hari yang cerah. Restoran, yang berputar setiap 30 menit, terletak beberapa meter dari platform tersebut, restoran ini awalnya berputar setiap 1 jam, namun dipercepat menjadi setengah jam saat renovasi tahun 1990-an.

Lift

Di dalamnya terdapat lift yang akan membawa pengujung ke atas bola dalam waktu 40 detik, namun lift ini tidak dapat membawa pengunjung dengan kursi roda, dikarenakan lift yang kecil dan sempit.

Jumat, 19 Maret 2010

Bundestag


Bundestag adalah parlemen Republik Federal Jerman. Lembaga perwakilan rakyat tertinggi negara ini didirikan berdasarkan konstitusi Jerman 1949 (Das Grundgesetz) dan menjadi pelanjut Reichstag dari masa Reich Jerman (Deutsches Reich). Ketua parlemen disebut Presiden Bundestag dan saat ini dipegang oleh Norbert Lammert (sejak 2005).

Dengan berlakunya konstitusi baru tahun 1949, Bundestag didirikan sebagai parlemen Jerman Barat. Karena situasi politik waktu itu, yaitu kurangnya infrastruktur dan Perang Dingin, bangunan Reichstag di Berlin tidak dapat digunakan. Sidang-sidang dilakukan di Bonn di tempat-tempat yang berbeda, bahkan pernah dilakukan di suatu gedung milik fasilitas pengolahan air. Selain itu, warga Berlin Barat tidak memilih wakilnya melainkan diwakilkan oleh 20 orang yang tidak dipilih langsung tetapi ditunjuk oleh badan perwakilan kota itu.

Selanjutnya sidang-sidang dilakukan di Bundeshaus, Bonn, hingga pemindahan ke Berlin tahun 1999. Sekarang Bundeshaus menjadi gedung Pusat Kongres Internasional Bundeshaus, bagian utaranya menjadi kantor cabang Bundesrat (Perwakilan Daerah) dan bagian selatan dijadikan "Kampus PBB" sejak 2008.

Pada masa Perang Dingin, gedung Reichstag dijadikan museum sejarah. Uni Soviet selalu berusaha mencegah penggunaan gedung ini oleh Jerman Barat dan mengganggunya dengan menerbangkan pesawat supersonik di dekat gedung ini.

Sebelum penggunaan kembali pada tahun 1999, gedung Reichstag direnovasi besar-besaran (termasuk dilengkapi dengan kubah transparan besar yang dapat dikunjungi orang) mengikuti rancangan arsitek dari Britania, Sir Norman Foster. Sejak tahun 2005 penerbangan di atas langit Berlin tengah dilarang untuk alasan keamanan.

Kamis, 18 Maret 2010

Alexanderplatz




Alexanderplatz adalah sebuah taman atau lapangan yang ramai dan berubin di tengah kota Berlin, ibukota Jerman, dekat tepi sungai Spree dan Berliner Dom.

Tempat ini merupakan tempat pertemuan bersejarah, tradisi ini dilanjutkan sampai hari ini. Gedung utama di wilayah ini, Rote Rathaus, menjadi gedung pemerintahan kota Berlin.

Nama taman ini diberikan untuk menghormati kedatangan Tsar Rusia, Alexander I yang mengunjungi kota Berlin pada tahun 1805. Nama taman ini tidak diotak-atik oleh pemerintahan komunis DDR (Republik Demokratis Jerman/Jerman Timur). Bahkan kala itu taman ini merupakan tempat perkumpulan yang penting pula.

Pada masa pemerintahan DDR menara televisi Fernsehturm dibangun. Menara ini memberikan para pengunjung sebuah kesan meluas seluruh kota Berlin dan sekitarnya.

Di dekat taman ini ada Gereja Nicolai, salah satu gereja tertua di Berlin yang selamat menghadapi pemboman pada masa Perang Dunia II. Di dekat gereja ini ada sebuah kolam dengan sebuah patung Neptunus yang sangat indah. Kolam ini pada masa-masa musim panas, sering diceburi masuk warga kota yang kepanasan. Lalu di tengah taman ada sebuah jam raksasa yang disebut jam dunia dan menunjukkan waktu di seluruh dunia. Jam ini dibangun pada masa pemerintahan DDR.

Halo-halo


Halo-halo atau halu-halo (dari bahasa Tagalog halo yang berarti campur) adalah es campur dari Filipina. Setelah diserut, es dihidangkan di dalam mangkuk atau gelas tinggi dengan tambahan isi yang beraneka ragam, di antaranya: kolang-kaling (kaong), pisang, nata de coco, kelapa kopyor (makapuno), pacar cina, dan kacang-kacangan dan umbi yang dimasak manis. Di atasnya dituangkan susu kental manis atau susu evaporasi, dan kadang-kadang diberi es krim.

Sebelum ditutupi dengan es serut, kacang-kacangan diletakkan di dasar gelas atau mangkuk. Kacang-kacangan yang biasa dipakai adalah kacang hijau, kacang jogo, kacang arab, atau kacang tanah. Buah-buahan segar atau dimasak dengan gula yang biasa dipakai adalah nangka, mangga, sawo duren, pepaya, apokat, buah kiwi, melon, atau ceri.

Umbi yang dipakai terdiri dari dua jenis: ubi jalar (kamote) dan uwi (ube). Halo-halo juga sering diberi jagung manis dari kaleng, pinipig, puding karamel, serta jeli dari gelatin atau agar-agar yang diberi warna merah, hijau, atau kuning.

The End Part 2


Tidak ada firasat apa pun pagi ini. Berjalan seperti biasanya. Normal. Membosankan. Hanya saja pelajaran hari ini lebih menyenangkan. Lebih menyegarkan.
Di siang yang tak begitu panas itu, tiba-tiba ponselku bergetar. Dengan was-was aku membaca satu pesan yang mampir di inbox-ku. Langit seketika runtuh. Ada lubang yang menganga lebar di hatiku. Semakin perih ketika air mataku membasahi pipi. Satu sayap telah patah. Tak mungkin bisa kembali terbang. Satu hati telah terpuruk mati. Tak mungkin yang lain bisa hidup. Katanya dulu kau tak pernah sanggup mengucapkan salam perpisahan? Tapi nyatanya apa? Kau bahkan dengan sadis mengucapkan kata-kata itu. Benteng pertahanan yang dulu ku bangun dengan segenap rasa sayang dan dengan cinta yang paling purba pun akhirnya hancur berkeping-keping tak bersisa. Tragis! Tiga hari sebelum hari kasih sayang datang. Empat hari sebelum pertempuran mautku. Semuanya telah berakhir. Kau telah berhasil membunuhku. Sebelum aku benar-benar mati, aku ingin kau tau, aku menyayangimu, lebih dari apa pun.

Hmm, pelajaran bahasa jerman kali ini tidak menarik sama sekali. Hambar. Mungkin sehambar hidupku kelak.
Maaf, aku takkan pernah bisa menepati janjimu untuk melupakan semua tentang kita, tentangmu.
Dan aku takkan pernah bisa mengucapkan selamat tinggal.

:Aku akan selalu merindukanmu.



In my class.
11 Februari 2010.
12:36

The End Part 1


Apakah ada yang salah dengan hari ini?

Tidak ada yang salah dengan hari ini. Menurutku hari ini biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh apalagi istimewa. Tapi firasatku berkata lain. Dan jantungku berdebar-debar aneh, tidak seperti biasanya. Menyakitkan.

Aku menghela nafas. Mencoba menenangkan hati. Tapi semakin ku mencoba, semakin sakit rasanya dan nafasku menjadi sesak.
Hmm, harus ku ingat-ingat lagi semua kejadian hari ini. Mungkin aku akan menemukan sesuatu itu, sesuatu yang menggelitik hatiku.

Hari ini aku berangkat pagi sehingga aku tidak tertinggal bus yang mengantarku ke sekolah. Sesampainya di kelas, aku mendapat tempat duduk yang strategis. Dan sepertinya itu tidak menjadi masalah. Pelajaran pertama sampai dengan pelajaran terakhir berjalan seperti biasanya. Membosankan! Tentu! Oia, anak-anak sempat menyinggung tentang musuh besarku, si reptil berbisa yang bodoh, sehingga aku sedikit marah kepada mereka. Ehm... pesanku tidak dibalasnya. dan Rabu itu sangat panas. Tapi menurutku itu bukan sumber kegundahanku saat ini.
Sebenarnya semua ini tidak masuk akal. Cuma gara-gara pigura fotoku yang jatuh dan pecah, aku mencari-cari sesuatu dibalik semua kejadian hari ini? Aneh.
Mengapa sesuatu tidak terjadi padaku? Jatuh atau kecelakaan mungkin. Seperti di sinetron-sinetron itu.

Aku menekuri setumpuk soal-soal di meja belajarku. Mencoba menghilangkan pikiran-pikiran konyol nan tidak masuk akal itu.
Gagal.
Yang ada aku makin be-te.
Dan, pusing.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dengan tergesa aku meraih tas dan ku aduk-aduk isinya. Yap! Ketemu. My favourite thing. Aku cek inbox-nya. Dan, hasilnya.... Gak ada satu pesan pun darinya. Dengan putus asa, ku taruh kembali di atas meja belajarku.
Aku memejamkan mata. Dan menarik nafas dalam-dalam. Mencari kedamaian di sana.
Postif thingking.
"Mungkin dia sibuk sehingga tidak sempat membalas pesanku", rutukku dalam hati.

Aku meraih ponselku ragu-ragu. Kemudian, jemariku menari dengan lincah di atas keypad. Menuliskan satu kata pengharapan. Yang bisa merubah segalanya. Dan segera mengirimnya.

Satu menit.
Empat menit berlalu...
Waktu berjalan sangat lambat.

Kupandangi ponselku lekat-lekat, berharap ada berita terkirim, tapi...
Jantungku berdebar makin kencang.
Menyakitkan.

Aku tidak tahan. Aku meneleponnya. Yang terdengar hanya bunyi tut...tut...tut...
Sepertinya ini adalah jawaban dari semua gundah gulanaku. Yea, kini aku mengerti. Dia telah kembali, pergi.
Pertanda itu.
Sangat jelas adanya.
Hanya aku yang terlalu bodoh.
Kini, dia pergi.
Meninggalkanku sendiri.
Untuk selamanya.

Aku memeluk lututku erat-erat. Menopang semua kesedihan yang datang tiba-tiba. Air mata mengalir tanpa dikomando. Deras. Dan semakin deras.

Dua hari yang lalu.
Mungkin itulah pertemuan terakhir kami.

:Masihkah rindu ini akan menjadi milikmu?




In my home.
10 Februari 2010.
22:36

Rabu, 17 Maret 2010

Diabetes Insipidus Nefrogenik

DEFINISI
Diabetes Insipidus Nefrogenik adalah suatu kelainan dimana ginjal menghasilkan sejumlah besar air kemih yang encer karena ginjal gagal memberikan respon terhadap hormon antidiuretik dan tidak mampu memekatkan air kemih.

PENYEBAB
Dalam keadaan normal, ginjal mengatur konsentrasi air kemih sesuai dengan kebutuhan tubuh. Pengaturan ini merupakan respon terhadap kadar hormon antidiuretik di dalam darah.
Hormon antidiuretik (yang dihasilkan dari kelenjar hipofisa), memberikan sinyal kepada ginjal untuk menahan air dan memekatkan air kemih.

Terdapat 2 jenis diabetes insipidus.
Pada diabetes insipidus nefrogenik, ginjal tidak memberikan respon terhadap hormon antidiuretik sehingga ginjal terus menerus mengeluarkan sejumlah besar air kemih yang encer.
Pada diabetes insipidus lainnya, kelenjar hipofisa gagal menghasilkan hormon antidiuretik.

Diabetes insipidus bisa merupakan penyakit keturunan.
Gen yang menyebabkan penyakit ini bersifat resesif dan dibawa oleh kromosom X, karena itu hanya pria yang terserang penyakit ini.
Wanita yang membawa gen ini bisa mewariskan penyakit ini kepada anak laki-lakinya.

Penyebab lain dari diabetes insipidus nefrogenik adalah obat-obat tertentu yang bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal:
- antibiotik aminoglikosid
- demeklosiklin dan antibiotik lainnya
- lithium (untuk mengobati penyakit manik-depresif).

GEJALA
Jika merupakan penyakit keturunan, maka gejala biasanya mulai timbul segera setelah lahir.
Gejalanya berupa rasa haus yang berlebihan (polidipsi) dan pengeluaran sejumlah besar air kemih yang encer (poliuri).
Bayi tidak dapat menyatakan rasa hausnya, sehingga mereka bisa mengalami dehidrasi. Bayi bisa mengalami demam tinggi yang disertai dengan muntah dan kejang-kejang.

Jika tidak segera terdiagnosis dan diobati, bisa terjadi kerusakan otak, sehingga bayi mengalami keterbelakangan mental.
Dehidrasi yang sering berulang juga akan menghambat perkembangan fisik.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar natrium yang tinggi dalam darah dan air kemih yang sangat encer. Fungsi ginjal lainnya tampak normal.

Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan penilaian dari respon ginjal terhadap hormon antidiuretik melalui tes deprivasi air.

PENGOBATAN
Untuk mencegah dehidrasi, penderita harus selalu minum cairan dalam jumlah yang cukup ketika mereka merasa haus. Penderita bayi dan anak-anak harus sering diberi minum.
Jika asupan cairan mencukupi, jarang terjadi dehidrasi.

Obat-obat tertentu dapat membantu, seperti diuretik tiazid (misalnya hidrochlorothiazid/HCT) dan obat-obat anti peradangan non-steroid (misalnya indometacin atau tolmetin).

Matahari Desember


Bel tanda pelajaran telah usai berbunyi nyaring, menimbulkan tarikan nafas lega dan senyum kecil disudut-sudut bibir anak-anak XI IPS 1. Seorang gadis, dengan tergesa-gesa memasukkan buku-buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas warna biru miliknya, lalu melangkah keluar kelas.
“Buru-buru amat, Ghe.” Kata gadis yang duduk semeja dengannya.
“Udah ditunggu.” Kata gadis yang ternyata bernama Ghea itu. “Duluan ya?”
Dengan langkah-langkah panjang Ghea menyusuri koridor sekolah menuju kantin. Yang pastinya sudah ada seseorang yang menunggunya.


“Cepat banget,” kata seseorang cowok begitu Ghea duduk di depannya.
“Kalo lama katanya lama, udah dari tadi, Dave?” ucap Ghea dengan seulas senyum yang dirasa manis. Lalu memesan bakso dan orange juice kesukaannya.
“Lumayanlah. Apa gak sebaiknya kamu istirahat di rumah aja, Ghe?” katanya sambil meminum softdrink yang dipesannya dari tadi.
“Gak mau. Aku mau nonton kamu latihan. Aku dilarang main basket tanpa alasan yang jelas, padahal beberapa hari lagi ada event besar yang udah ku tunggu-tunggu, sekarang aku juga dilarang nonton kamu latihan. Ini gak adil tau gak?” kata Ghea. Mukanya merah karena marah.
“Aku ngerti, tapi kamu kan lagi sakit sayang.” Kata Dave, terlihat khawatir.
“Aku tuh gak sakit, Dave. Aku sehat-sehat aja. Kenapa sih sekarang semuanya over protektif banget ma aku. Aku tuh gak kenapa-napa.” Kata Ghea ketus.
Beberapa hari yang lalu saat latihan basket, Ghea tiba-tiba jatuh pingsan. Dave, pacar Ghea, kebingungan dan langsung menelepon ambulance, lalu Ghea dibawa ke rumah sakit terdekat. Dan setelah kejadian itu, semuanya berubah. Ghea tidak diizinkan main basket lagi oleh orangtuanya, juga pelatihnya, padahal Ghea salah satu atlet basket terbaik di sekolahnya, SMA Negeri 46 Pekalongan. Dave dan teman-temannya juga menunjukkan perhatian yang kadang dirasa berlebihan olehnya.
Pembicaraan terhenti ketika pesanan Ghea datang. Selama beberapa detik tak ada yang bersuara, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Dave?” ujar Ghea memecah kesunyian yang terasa begitu menyakitkan.
Dave mengangguk tanda setuju, lalu tersenyum, memamerkan lesung pipinya. “Abisin donk makanannya, jangan lupa minum obatnya ya?” katanya mengingatkan Ghea.
“Oke bos,” ucap Ghea setengah hati.
“Dave dipanggil ma Pak Dwi, segera ya!” kata anak basket yang baru saja masuk ke kantin.
“Ghe, aku ke sana dulu, sebentar kok. Jangan lupa diminum ya obatnya?” kata Dave, lalu bergegas meninggalkan kantin menuju ruangannya Pak Dwi.
15 menit berlalu dengan menjemukan. Dave bergegas kembali ke kantin setelah berdiskusi singkat dengan Pak Dwi, pelatih basket sekolahnya.
Sesampainya di depan kantin, matanya tertuju pada tempat sampah di depannya. Lalu dia bergegas masuk, menghampiri Ghea yang tengah minum orange juice keduanya.
Wajah Dave menunjukkan kesedihan yang amat dalam. Dan Ghea menyadari perubahan itu. “Ada masalah?” Ghea terlihat cemas.
Dave terdiam begitu lama. Ghea benar-benar gak ngerti, dia hanya terbengong melihat sikap Dave yang gak seperti biasanya, bukan Dave banget. Ada apa dengan Dave? Hingga Dave hampir menangis didepannya? Batin Ghea.
“Kenapa kamu gak minum obatnya?” tanya Dave sangat dingin, matanya yang hitam menatap tajam Ghea. “Kamu buang obatnya di tempat sampah kan? Aku sayang banget ma kamu, Ghe. Tapi, kenapa kamu gak sayang pada dirimu sendiri.?” Dave menambahkan, begitu lirihnya hingga Ghea hampir-hampir gak mendengar.
Hati Ghea tersentuh juga oleh sikap Dave, yang ternyata sangat menyayanginya. Hanya karena dirinya gak minum obat Dave hampir menangis di depannya.
“S-sorry, aku akan minum obatnya. Aku janji, sekarang aku mau minum obat tanpa kamu suruh sekalipun dan gak akan membuangnya lagi.” Katanya takut-takut.
Dave tersenyum kecil, tak terasa setetes air mata, yang sedari tadi ditahannya, jatuh di pipinya. Cepat-cepat ia usap, gak mau ada orang lain yang melihatnya.
Setelah Ghea meminum obatnya, Dave dan Ghea bergegas ke lapangan basket.
Cewek yang bernama lengkap Anggia Saphira Aurelia itu biasa dipanggil Ghea. Cewek yang hobi banget ama yang namanya sport itu, tak hanya cantik tapi juga cerdas. Udah dua tahun ini dia jalan bareng ama Dave, yang bernama lengkap Davian. Dia benci banget ama yang namanya sakit, walaupun akhir-akhir ini dia merasakan bahwa kepalanya sering pusing, tapi dia tidak mau mengakuinya. Dia tidak mau dirinya kelihatan lemah di mata orang lain, apalagi di depan Dave.


Event besar yang dinanti-nanti anak basket pun tiba. Hari ini sudah memasuki babak semi final. Ghea tak pernah absen menontonnya, dia selalu hadir saat sekolah tercintanya bertanding. Beginikah rasanya menjadi seorang suporter? tanyanya pada diri sendiri. Tidak mengenakkan. Sebenarnya dia tak mau berdiam diri saat teman-temannya bertanding di lapangan, tapi apa daya, dia sekarang hanyalah pesakitan yang selalu merepotkan orang lain. Dia tak tahu penyakit apa yang telah menggerogoti tubuhnya. Dia benci banget dengan keadaannya sekarang, yang selalu merepotkan semua orang, terutama Dave. Saat Zelvi, teman karibnya yang juga anak basket, memasukkan bola ke ring lawan, yang berarti menambah angka untuk timnya tercinta, tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan Ghea jatuh tak sadarkan diri.


Saat Ghea membuka matanya, dia bisa melihat Dave, Zelvi dan Pak Dwi, walaupun secara samar-samar. Dave terlihat tegang tapi sedikit lega setelah melihat Ghea tersadar. Setelah Ghea pingsan tadi, segera dia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Semua temannya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.
“Dave,” ucap Ghea lirih hampir seperti bisikan.
“Aku disini, Ghea.” Sahut Dave, mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Ghea.
“Ghe, tim kita masuk final.” Kata Zelvi, yang berdiri didekat Dave. “Gue sama anak-anak basket berjanji akan membawa kemenangan itu buat elo, special for you. Kita mau ngebuktiin ke elo kalo kita bisa walaupun tanpa elo.” Zelvi menambahkan, tersenyum sambil menahan air mata yang siap meluncur kapan saja.
Ghea tersenyum lemah.
Dave menggenggam erat tangan Ghea. Dia takkan sanggup bila harus berpisah dengan Ghea, dia takkan sanggup menghadapi kenyataan bila akhirnya Ghea meninggalkannya sendiri. “Kau akan baik-baik saja.” Katanya menenangkan Ghea, tapi sejujurnya, dia menenangkan dirinya sendiri.
“Cepat sembuh ya, Ghe.” Kata Pak Dwi yang sedari tadi diam. “Sebaiknya kita keluar, kita berikan kesempatan pada yang lain yang ingin menjenguk Ghea.” Membimbing Zelvi keluar. Setelah beberapa langkah dia berhenti, berbalik dan menatap Dave yang masih menggenggam erat tangan Ghea.
“Aku ingin bersamanya,” katanya, menjawab tatapan Pak Dwi.
Pak Dwi tersenyum penuh arti kepada Dave. Berbalik, lalu melangkah menuju pintu.
“Aku pulang dulu ya, Ghe.” Kata Dave, setelah satu jam dilalui dengan menyakitkan.
“Aku akan sangat merindukanmu, Dave.” Ucap Ghea dengan suara tak jelas.
“Me too,” kata Dave, lalu dengan manis mencium kening Ghea.
Tak lama kemudian, Dave sudah berjalan menyusuri koridor rumah sakit.


Sepanjang hari itu Ghea tak sabar menanti teman-temannya. Dia tak bisa memejamkan matanya, padahal dokter menyuruhnya untuk istirahat barang sejenak.
Yang dinanti pun tiba, dia bisa mendengar suara Zelvi di luar sana. Hatinya terasa begitu bahagia, tapi segera saja rasa bahagia itu tergantikan oleh perasaan sedih yang begitu kuatnya, saat mendengar isakan tangis sahabatnya, Zelvi. Apakah timnya kalah? Pikirnya.
Pintu kamar tempat Ghea dirawat terbuka, Zelvi dan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik, yang tak lain dan tak bukan adalah Mamanya sendiri, memasuki kamar dan menutup pintu dibelakangnya. Tapi….dimana Dave? Pikir Ghea.
“Ghea….. tim kita menang, sekolah kita berhasil memperebutkan juara 1 baik cewek maupun cowok. Kita semua udah nepatin janji ke elo.” Kata Zelvi, suaranya bergetar, menahan air mata.
Ghea tak merasa gembira mendengar kabar ini, dia yakin tangis Zelvi tadi bukan tangis bahagia karena telah memenangkan pertandingan basket, Ghea yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan darinya. Tiba-tiba ia teringat Dave, dia merasa sangat merindukannya.
“Dimana Dave?” tanya Ghea dengan suara menggumam dan tak jelas.
Tak ada yang menjawab, Ghea merasakan belaian lembut tangan Mamanya, lalu Ghea mendengar semuanya menangis. Perasaannya semakin tak enak sejak kedatangan Zelvi tadi.


Di suatu pagi yang dingin, Ghea duduk di pojok lapangan basket dekat rumahnya, tempat di mana ia dan Dave sering main basket bareng. Tapi sekarang ia sendiri, tak ada Dave di sampingnya. Takkan pernah ada. Dari mulut Zelvi mengalirlah cerita kalau kecelakaan tragis telah memanggil Dave untuk selama-lamanya, siang itu, siang setelah pertandingan final basket berakhir, sebelum menemui Ghea di rumah sakit.
Tak ada air mata yang keluar, meski dadanya sesak menanggung kesedihan yang teramat ini seorang diri. Takkan ada lagi Dave yang menjadi tempatnya berkeluh kesah. Takkan ada lagi, Dave yang menjadi tempatnya bersandar. Takkan ada lagi, Dave yang menjadi tempatnya berbagi tangis dan tawa. Dan takkan ada lagi Dave untuk selama-lamanya. Ghea yakin, tak lama lagi ia akan bertemu dengan Dave, meski bukan di dunia ini tentu saja. Please, wait me, Dave. Aku takkan membiarkanmu kesepian di sana, ucap Ghea dalam hati. Awan mendung mengiringi langkah-langkahnya meninggalkan kenangannya akan Dave.


Look into my eyes, Dave…
You will see how sad I am
I always want you to be mine
But now…
I really feel, I am losing you
But… it is not so bad
You are only the best I ever had

Look into my eyes, Dave…
You will see how much I love you
We will always be together
And our love will never die
You are just the best I ever had
The best I ever had…

Urghh Sebel!!


Semburat senja diufuk barat menambah temaram suasana sore itu. Taman yang penuh bunga seakan turut menikmati keindahan menjelang malam. Saat itu di bangku taman tampak seseorang sedang menikmati panorama tersebut.
“Aluna…”
Yang dipanggil menoleh ke sumber suara, sesosok tubuh atletis menatapnya penuh kasih.
“Dipanggil Mama, segera ya!” kata Galuh, kakak Aluna, lalu berbalik meninggalkan Aluna, sendiri. Lagi.
Aluna segera menemui Mamanya di ruang keluarga.
“Sini sayang.” Pinta Mama.
Aluna duduk disamping Mamanya. “Ada apa, Ma?” tanya Aluna, penasaran dengan sikap Mamanya yang gak biasa.
“Begini…kamu kan udah gede, udah dewasa,..”
“Udah deh Ma to the point aja.” Potong Aluna. Kesal dengan Mamanya yang berbelit-belit.
“Papa, Mama, dan seluruh keluarga sudah merencanakan pertunanganmu.”
“What?” Aluna percaya gak percaya ama perkataan Mamanya barusan. “Aduh…..Mama! Sekarang tuh ya..bukan jamannya lagi Siti Nurbaya-Siti Nurbayaan. Perempuan udah bisa mandiri, jadi gak usah begitu deh Ma!” cerocos Aluna.
“Gak bisa sayang. Ini udah jadi kesepakatan keluarga kita dan keluarga Aziz. Semuanya udah di atur…”
“Pokoknya gak bisa. Titik! Lagian ya Ma, Aluna masih SMA dan Aluna dah punya pacar. Mau di kemanain pacar Aluna kalo Aluna tunangan ama makhluk yang gak jelas.” Kekesalan Aluna udah nyampe di ubun-ubun.
“Ya kamu putusin aja pacar kamu itu. Terus calon tunanganmu ini makhluk yang jelas Aluna. Namanya Nathan. Pokoknya kalo kamu udah ketemu ama Nathan, pasti kamu gak akan nyesel mutusin pacar kamu itu.” Terangnya panjang lebar. Bikin Aluna makin sebel.
“Ma..mau Nathan, mau Arga, pokoknya Aluna gak mau. Titik! Apalagi harus mutusin Joe.” ucap Aluna gak percaya. “Aluna gak bisa. Aluna dah telanjur….”
Belum sempat Aluna menyelesaikan kalimatnya udah dipotong oleh Mamanya, “Putusin dia sayang!”
“Gak bisa Ma..” kata Aluna tegas.
“Sayang….apa pun keputusanmu, pertunangan ini akan tetap berjalan.” Kata Mamanya lebih tegas. Kemudian dia beranjak pergi, meninggalkan Aluna sendiri.
“Urgghh…sebel!!”


SMA Negeri 46 Pekalongan….
Bel istirahat sekolah menggema di seantero SMANROS. Semua siswa berhamburan keluar. Riuh dengan canda tawanya. Begitu pun dengan Aluna, langsung menuju ke kantin, mengisi perutnya yang sejak tadi terus bernyanyi. Aluna mencari tempat yang masih kosong sedangkan Fia memesan makanan.
“Nih pesenannya,” Fia menyodorkan semangkok bakso dan segelas orange juice.
“Thanks.”
Selama beberapa detik gak ada yang berbicara, asyik menikmati santapannya.
“Gawat nih, Fi.” Aluna memulai pembicaraan.
“Gawat apaan?”
“Gue mau ditunangin.”
Fia kaget mendengar penuturan sobatnya ini, harus menunggu beberapa detik untuk membuatnya sadar kembali. “Tunangan?” tanya Fia gak percaya.
“Iya. Udah gak jaman lagi kan?”
“Ama siapa? Terus gimana dengan Joe?” tanyanya penasaran.
“Nathan. Gak tau deh kayak apa orangnya.” Meneguk OJnya.”Dan Joe…gue harus mutusin dia.” Aluna pasrah.
“Putus?”
“Ya…mau gimana lagi coba? Apa pun keputusan gue, pertunangan itu tetap berjalan. Gue juga berat mutusin Joe. Gue udah telanjur sayang banget ma dia,,,” ucapannya tersirat kesedihan.
“Sabar ya…” Fia mencoba menenangkan sobatnya ini.
Aluna mengangguk kecil.


Jarum jam di SMANROS menunjukan angka 13.45 WIB. Bel berdenting berulang kali, tanda jam pelajaran sudah berakhir. Semua siswa berhamburan dari kompleks sekolah.
“Aluna, tunggu…!” teriak Joe.
Aluna berpaling ke Joe yang sedang berlari ke arahnya.
“Gue…hhh… ada…hh… perlu..hh…. ama loe..hh.., penting.” Ucap Joe setelah sampai di depan Aluna.
“Nafas dulu Bung baru bicara.” Semprot Fia.
Joe menarik nafas dalam-dalam satu dua kali. Setelah di rasa normal kembali dia berkata, ”Gue ada perlu ama loe, penting.”
“Ya tau…tadi kan udah bilang.” Ujar Aluna sewot.
“Sorry ya Fi gue culik sobat loe ini.”
“Tunggu gue ya, Fi.” Teriak Aluna.
Sebelum Fia sempat menjawabnya, Joe udah mencengkeram tangan Aluna dan menyeretnya.
“Jojo, lepasin! Sakit tau!”
Joe pun melepaskan genggamannya lalu melangkah ke taman sekolah diikuti Aluna yang meringis membelai tangannya.
“Sorry, gue gak ada niatan nyakitin loe.” Joe nyengir lebar.
“Rese loe. Perlu apaan.” Kata Aluna dengan suara lembutnya.
Joe terdiam beberapa saat, mengatur nafasnya. Kemudian berkata, “Ehm….gimana kalo kita…” menghindari tatapan Aluna. “Putus?”
‘What?’ batin Aluna. Aluna gak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. ‘Emang sih…ini yang diinginkan Mama. Putus dari Joe. Tapi, apa yang membuat Joe minta putus dari gue? Tanda tanya besar. Apa ada yang salah dengan diri gue?’ batin Aluna masih gak percaya. Aluna masih saja terbengong ketika Joe memanggil namanya berulang kali.
“Aluna!” teriak Joe.
Seketika Aluna tersadar kembali. Tiba-tiba emosinya naik. “Urgghh…gak usah teriak-teriak! Gue dengar Joe!” kata Aluna sewot.
“Gimana kalo kita putus?” tanya Joe sekali lagi.
“Aduh Joe…….sejak kapan sih loe selalu mengulang perkataan loe itu.” Aluna kesal setengah mati. ‘Dikiranya gue telmi apa,’ batin Aluna. Sebal.
Keduanya diam begitu lama. “Gimana Aluna?” ujar Joe, memecah kesunyian yang terasa menyakitkan.
“Ya udah, kalo loe mau putus ya putus aja.” Ujar Aluna sewot.
“Ya udah kita putus.”
“Ya putus!”
Joe mengamati Aluna yang sedang berdiri di hadapannya. Aluna merasa jengah diamati seperti itu. “Ada apa?” tanya Aluna heran.
“Loe gak nangis gue putusin?”
“What? Nangis? Ngapain gue harus nangis. Putus dari loe bukan berarti dunia ini kiamat tau!” ujar Aluna makin sewot ditanya seperti itu. Tapi sedetik kemudian dia sadar kenapa dia gak ngerasa sedih, kenapa dia gak pengin nangis diputusin Joe. ‘Gue udah siap kali putus dari Joe,’ batinnya lagi.
“Biasanya cewek kalo diputusin ma cowoknya kan nangis, marah-marah, terus ngamuk-ngamuk kayak banteng gitu.” Terang Joe.
“Loe nyamain gue ama banteng?” omel Aluna.
“Bukan itu maksud gue…”
“Rese loe. Inget ya Joe, gue itu bukan cewek biasa. Dan gue gak perlu nangis diputusin cowok horor kayak loe.” Kata Aluna tegas. “Oh ya, kenapa loe mutusin gue?” tanya Aluna tiba-tiba.
Joe kaget juga ditanya seperti itu. “Ehm….” Berpikir sejenak. “Karena gue udah bosen ama loe.” Ucapnya asal-asalan.
‘What? Bosen? Emang gue ngebosenin ya?’ tanyanya pada diri sendiri. Aluna kaget juga mendengar jawaban Joe. Aluna pergi meninggalkan Joe yang tetap tertegun ditempatnya. Sebenarnya Joe berat mutusin Aluna, namun demi ortu tercintanya dia rela melepaskan bunga jiwanya. Tapi…. Joe heran juga dengan sikap Aluna yang anteng-anteng aja Joe putusin.


“Ada apa?” tanya Fia penasaran, sesampainya Aluna nyampe di parkiran.
“Putus. Kita udah putus.” Jawab Aluna kalem.
“Loe udah mutusin dia?” tanya Fia gak percaya. Matanya melotot hampir copot.
“Gak usah melotot gitu donk Fi. Horor tau!” Semprot Aluna kesal dengan respon Fia yang berlebihan itu. “Yang mutusin bukan gue kok.” Aluna menambahkan.
“Yang mutusin bukan loe, berarti Joe donk. Hah? What Happen?” Fia bisa terkena penyakit jantung mendapat banyak kejutan hari ini.
“I don’t know. Tiba-tiba aja dia mutusin gue, katanya sih dia bosen. Ya udah kita putus. Lagian ini juga kan yang Mama minta. Lengkap sudah.” Katanya pasrah.
“Sabar ya. Nih…” Fia menyodorkan sapu tangannya.
“Buat apa?” tanyanya. Heran dengan apa yang dilakukan Fia.
“Buat ngusap air mata loe.” Katanya dengan tampang innocentnya.
“Rese loe.”
“Ya udah simpan aja. Persiapan buat ntar malam.”
“Urgghh….dasar Fia. Cabut yuk..”


Beberapa hari kemudian…..
Aluna mondar-mandir di kamarnya. Hatinya sedari tadi gak berhenti dag dig dug der. Yap! Ceritanya ntar malam Aluna mau ketemu ama calon tunangannya itu. PeDeKaTe, kata Mamanya. Aluna mengambil ponsel di atas meja belajarnya dan segera memencet nomor yang sudah di hafalnya di luar kepala.
“Halo? Fia?”
“Ya ada apa, Non?”
“Hey, kapan loe jadi pembokat gue?” tanyanya bercanda.
“Kurang ajar loe.”
“Just kidding. Fi, gue deg-degan banget ne.”
“Ihhh…yang ntar malem mau ketemuan…” goda Fia di seberang sana.
“Ya secara gue kan gak tau dia orangnya kayak apa. Ya kalo orangnya lebih dari Joe.” Terdiam sejenak. “Ingat Joe…gue jadi kangen nih ma dia. Walau dia resenya minta ampun, walau dia nyebelin banget, gak ada romantis-romantisnya, ternyata kita akan benar-benar sadar kalo kita sayang ma seseorang setelah kita kehilangan dia. Hey kenapa gue jadi ngelantur gini sih,” Aluna tertawa renyah.
“Duh..yang lagi sayang ma mantan. Hi..hi..hi.. Baru sadar kan kalo putus cinta itu sakit banget.”
“Diem loe.”
“Kira-kira yang namanya Nathan itu kayak apa ya?”
“Gue takutnya dia kayak Temon.” Kata Aluna asal-asalan.
“Hey..kurang ajar!”
“Maksud gue artis! Temon artis kan?”
“Heeee..gak lucu tau. Eh...kalo dia handsome, kenalin ke gue ya?”
“Maunya. Udah dulu ya, mau siap-siap ne, he..he…”


Dalam perjalanan ke sebuah kafe tempat pertemuan berlangsung, yang bertengger dalam otak Aluna hanyalah bayangan Joe. Bagaimana pun Aluna masih sayang ama Joe. Walaupun nantinya Nathan lebih tampan dari Joe.
Setelah sampai di tempat tujuan, Aluna memilih tempat di sudut ruangan, agar mudah di lihat para pengunjung. Deg-degan juga hatinya bila harus bertemu Nathan.
Aluna tercekat saat sesosok pemuda berperawakan atletis dengan kemeja hitam bergaris-garis putih memasuki ruangan. Joe. ‘Pasti dia lagi mau kencan ma cewek barunya, sekarang kan malam minggu,’ batin Aluna. Ada rasa cemburu di hatinya. Tatapan mereka bertemu. Joe mengahmpiri meja Aluna.
“Ngapain loe disini?” tanya Aluna, basi-basi. Padahal pertanyaan yang benar adalah janjian ma siapa?
“Loe juga ngapain disini?” Joe balik nanya.
“Ehm…gue ada janji ma someone!”
“Gue juga.”
Joe duduk di samping Aluna. ‘Ngapain Joe duduk di sini, bisa-bisa Nathan gak berani datang menemuiku’ batin Aluna dalam hati. Namun dilain pihak Aluna senang juga ditemani Joe. Setelah putus mereka gak pernah jalan bareng lagi.
“Gue boleh duduk di sini kan? Sambil nunggu cewek gue datang,” kata Joe PeDe abiz.
‘Tanya, setelah duduk anteng kayak gitu. Aneh! Eitt..tunggu dulu. Cewek? Jadi bener dia janjian ma cewek barunya. Urghh sebel! Tapi disini gue kan lagi janjian ma Nathan. Aha! Gue bisa ngaku-ngaku kalo Nathan itu cowok gue. Good idea. Tapi..kalo Nathan amburadul, mati gue! Ah biarin! Batin Aluna dalam hati. Sambil cengengesan.
“Kenapa loe?” tanya Joe heran ngeliat Aluna yang cengar-cengir sendiri.
Aluna berusaha menguasai diri. Ia melirik jam tangannya. “Ah gak. Gue heran aja, kok cowok gue belum datang juga ya?” katanya sambil celingak-celinguk. Sedetik kemudian dia sadar kalo dia gak tau Nathan tuh orangnya kayak gimana. ‘Mampus gue! Gue kan gak tau yang namanya Nathan. Tadi Mama bilang Nathan malam ini mau pake baju warna apa ya? Hitam? Biru? Coklat? Ungu? Merah? Pink? Uh jangan pink!! Aduh…please help me!’ Aluna mulai gelisah.
“Loe jadian kok gak cerita ke gue sih? Siapa cowok loe sekarang?” tanya Joe, penasaran.
“Sorry..belum sempat cerita.” Elak Aluna. ‘Urghh kenapa Joe gak cemburu? Jangan-jangan dia udah gak ada rasa ama gue’ pikir Aluna, sebel, lalu menambahkan, “Namanya Nathan. Siapa nama cewek loe?”
“Moza.”
Keduanya terbengong. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Lalu keduanya serempak berkata, “Tunggu.. jangan-jangan….” Mereka berdua tertawa renyah menyadari kebodohan mereka.
“Urghh…sebel!” pekik Aluna.
Tiba-tiba Joe mengangsurkan tangannya kepada Aluna, dan berkata, “Kenalin gue Jonathan.” Seulas senyum nakal terukir di wajahnya.
“Aluna Dheamoza.” Aluna menyambut tangan Joe dan mereka berdua berjabatan tangan.. Tersenyum. Aluna gak habis pikir kalo calon tunangannya adalah Joe, pacarnya. Eit salah, mantan pacar. Mereka kan udah putus. Dia tau kalo Joe bernama lengkap Jonathan, yang akrab di sapa Joe atau Jojo. Tapi dia bener-bener gak nyangka kalo Nathan yang dimaksud adalah Jonathan.
“Coba kalo kita nyadar dari awal, kita kan gak perlu putus segala. Jadi sekarang gimana? Loe mau gak jadi pacar gue lagi?” tanya Joe, penuh harap. Cemas, takut Aluna nolak dia.
“Loe tuh gak ada romantis-romantisnya ya dari dulu. Masa’ minta balik kayak mau ngajak makan aja?” Aluna pura-pura cemberut. Tapi sebenarnya dia seneng banget.
“Sorry gue gak tau harus gimana. Tapi itu tulus dari lubuk hati gue yang paling dalem. Jadi..gimana?” tanya Joe harap-harap cemas.
“Ehm…walaupun loe itu nyebelin, resenya minta ampun, gak romantis sama sekali, tapi gue sayang ma loe.” Kata Aluna, memamerkan senyuman mautnya.
“Jadi..loe nerima gue nih?” tanya Joe gak percaya.
Aluna mengangguk pelan.
“Makacih cayangku…” Joe mengacak rambut Aluna.
“Tapi apa bener gue ngebosenin, Joe?” tanya Aluna, teringat akan alasan Joe saat memutuskannya beberapa hari lalu.
“Iya.” Kata Joe, lalu cepat-cepat menambahkan ketika Aluna melototinya, “Tapi bo’ong…” Joe nyengir lebar.
“Urghh…sebel.” Aluna memukul-mukul lengan Joe.

Cerita ini hanyalah fiktif belaka jika ternyata terdapat kesamaan, baik nama maupun peristiwa, sorry, emang sengaja.☺

Cachi Macky

“Kamu sayang aku gak sih?” teriak Cachi.
Yang diteriaki hanya diam saja, asyik memainkan ponselnya.
“Macky...!” teriak Cachi. Lagi.
“Kau masih saja meragukanku?” Macky menghampiri Cachi dan berdiri dihadapannya.
“Iya. Kamu menunjukan tanda-tanda kalo kamu itu...” Cachi tak meneruskan kalimatnya.
“Main mata? Selingkuh?” Macky menghela nafas keras-keras. “Kamu itu keterlaluan, Cachi.”
“Keterlaluan gimana? Kamu yang keterlaluan!” kata Cachi menggelegar ketika melihat tampang Macky yang cuek bebek. “Tuh kan kamu gak dengerin aku. Apa itu gak keterlaluan?”
“Gak.” kata Macky cuek.
“Terus Sachika gimana?” cecar Cachi. “Aku gak mau kamu nyakitin dia. Nanti aku yang malu, Mack!”
Macky melenggang keluar kamar. Langkahnya terhenti mendengar teriakan Cachi. “Mau kemana? Kita sedang bicara, Mack!”
“Ngambilin kamu minum, adikku sayang. Kasihan dari tadi kamu teriak-teriak.”
Cachi melongo.

Lophe


Halte itu sudah menyambutku dengan berjubel anak SMANROS, menanti bus kesayangan masing-masing. Keringat mereka bercucuran, maklum siang ini sangat terik. Aku berdiri di samping segerombolan anak-anak cewek yang asyik menggosip. Ketika aku mendekat, mereka menyapaku dan kuberikan senyum terbaikku untuk membalas sapaannya. Halah…..
Pada awalnya aku keberatan dengan keputusan Ayah, yang melarangku untuk tidak membawa MP kesayanganku ke sekolah. Menghemat, itu kata Beliau. Tapi, itu hanya salah satu alasannya, kukira, kejadian yang sebenarnya adalah Beliau menghukumku atas apa yang telah terjadi padaku dua minggu yang lalu. Yupi…. Kecelakaan. Untung saja tak terjadi apa-apa pada diriku, hanya luka-luka kecil. No problem. Tapi… MP kesayanganku rusak berat. Hiks…hiks….hiks…
Mataku menangkap sesosok gadis yang akhir-akhir ini menjadi perhatianku. Ia mengayuh sepedanya, keluar dari gerbang SMANROS. Tak ada yang istimewa pada dirinya, dia seperti kebanyakan siswi SMANROS lainnya. Dia juga bukan indo seperti mantan pacarku dulu, tapi entah mengapa aku tertarik untuk memperhatikannya. Aku tak sempat menyelesaikan pengamatanku kali ini, karena sekonyong-konyong bus yang akan membawaku pulang datang. Seperti biasanya bus ini penuh sesak. Bus itu berhenti tepat di dekatku. Aku mempersilakan anak-anak cewek untuk naik terlebih dahulu. Ladies first. Halah… kemudian aku mengikuti di belakangnya.

Hari berikutnya halte nampak sepi, maklum hari sudah semakin sore, matahari pun semakin condong ke barat. Hari ini aku memang pulang sore, ada jam tambahan Math. Pelajaran yang menurutku gampang-gampang susah, he3x… Aku duduk di halte, sendirian, menunggu bus terakhir yang akan membawaku pulang. Aku memperhatikan lalu lintas yang tak terlalu ramai, tiba-tiba cewek yang kemarin, melintas di depanku dengan sepadanya. Dia melihatku, dan menyapaku dengan senyumnya. Sungguh, aku tak bisa berkata-kata, aku pasti kelihatan seperti orang bego. Senyum itu… senyum itu terlalu manis buatku. Ah….
Aku melihat sepedanya berhenti tak jauh dariku. Terjadi suatu kesibukan disana. Entah mengapa jantung ini berdetak begitu kencang. Bimbang. Menghampirinya atau tidak. Tapi ini kesempatanku untuk mengenalnya, jika dia mengizinkannya, tentunya. Dengan langkah ragu, aku menghampirinya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kempes kayaknya, Kak.”
Suaranya, ya ampun…. lembut banget. “Bawa ke bengkel aja dulu.”
Dia mengangguk.
Aku menawarkan diri untuk membawakan sepedanya. Awalnya dia menolak, tapi setelah aku paksa, akhirnya dia menyerah juga. Kami berjalan beriringan. Saling diam. Tiba-tiba aku kehilangan suaraku, padahal banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan padanya. Sebel…
Sementara sepedanya diperbaiki, kami memilih duduk di depan bengkel itu. Lagi-lagi diam. Aku benci ini. Dengan jantung yang berdegup kencang, aku memberanikan diri untuk memulai percakapan. Hhff…
“Kalo boleh tau, nama kamu siapa?” tanyaku dengan H2C. Harap-harap cemas.
“Cheelo Veladeetha.”
Busyet… namanya aneh banget. “Terus aku panggilnya siapa?”
“Terserah Kak Ichi sih mau manggil aku siapa, tapi aku biasa dipanggil Lophey.”
Apa? Lophey? Gak Love aja? “Ohh.. gitu. Kelas berapa sih? Kayaknya aku gak pernah lihat Lophey deh.”
“Masa sih? Aku kelas XI IPS 1, ya maklumlah Kak Ichi gak pernah lihat aku, aku baru beberapa bulan disini.” Senyumnya mengembang, memamerkan lesung pipinya.
Oh Tuhan… senyumnya.
Kami mulai akrab. Bicara ini itu, ngebahas tentang program-program sekolah, politik, sosial, ya pokoknya kami udah gak canggung lagi. Hingga dia berseru…
“Oh ya Kak, seharusnya kan Kak Ichi udah pulang. Ini udah sore banget loh. Aku jadi gak enak nih, Kak Ichi pulang aja deh. Makasih atas bantuannya.” Dia terlihat cemas.
“Oh gak pa-pa kok. Aku malah gak enak kalo kamu pulang sendirian.” Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. 17.09 WIB. Bus udah lewat, terpaksa minta jemput deh. Ah.. gak pa-pa lah. Sekali-kali.
“Duh beneran deh Kak, aku pulang sendiri aja. Rumahku gak jauh kok.”
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Ya udah, aku gak mau maksa, tapi nunggu sepadamu benar dulu ya, baru aku pulang, gimana?”
“Deal.”

Hari-hariku berjalan cepat. Mungkin karena aku terlalu sibuk memikirkan UN yang udah di depan mata. Dan itu melelahkan. Sungguh. Tapi bagaimanapun aku harus mengahadapinya. Pasti. Aku dan Lophey pun makin akrab. Ada perasaan menggelitik yang aneh saat aku bersamanya. Jangan bilang kalo aku fall in love. Tapi kayaknya itu deh yang terjadi padaku saat ini. Ini gak salah kan? Gak lucu juga kan kalo aku jatuh cinta, he…
Hari ini aku mendapat slentingan dari teman-teman, kalo Lophey pingsan di kelas. What happen ya? Maka dari itu, setelah bel pulang berbunyi nyaring, aku samperin dia di kelas. Untung saja hari ini gak ada jam tambahan. Dan moga saja Lophey gak ada ekstra.
“Siang Kak Ichi…” sapa anak-anak cewek, ketika aku lewat di depan mereka.
“Siang…”
Jangan heran kalo aku sering disapa ama anak-anak cewek. Maklumlah aku termasuk most wanted di SMANROS. Narsis sedikit gak pa-pa kan? He…
“Udah mau pulang?” aku mengahampiri Lophey yang masih di kelasnya.
“Yap. By the way hari ini gak ada jam tambahan, Kak?”
“Gak ada. Aku antar kamu pulang ya?” aku memperhatikan Lophey yang berdiri di depanku.
“Makasih deh, Kak.”
“Kali ini kamu gak boleh nolak. Aku dengar tadi kamu pingsan di kelas. Kenapa?”
“Oh… Cuma gak enak badan aja.”
“Maka dari itu aku anterin kamu pulang. Aku takut kamu kenapa-kenapa di jalan.”
“Tapi kan…”
“Gak ada tapi-tapian, kita pulang sekarang ya.” Aku melangkah keluar kelas. Kulihat Lophey mengekor di belakangku. Pasrah.

Aku mengayuh sepeda Lophey pelan. Untung saja rumah Lophey gak jauh-jauh amat kok dari sekolah. Jadi.. aku gak capek-capek banget. Wah… teringat Galih dan Ratna nih. Pas aku lewat di depan anak-anak SMANROS, mereka senyam-senyum melihat kami berboncengan naik sepeda. Malu sih, tapi romantis juga. He…
Sungguh jantungku berdegup begitu kencang, sampai aku takut Lophey bakal mendengarnya. Deg-degan banget. Suer deh! Aku pun jadi gugup nih. Ngomong, nggak, ngomong, nggak, ngomong, nggak…hhfff…
“Phey…?”
“Hmm..”
“Kamu gak pa-pa kan?”
“Yap, I’m fine. Emang kenapa, Kak?”
“Gak pa-pa.” Duh… bego banget sih.
Aku menghentikan sepeda di tepi jalan, di bawah pohon yang rindang, ups.. cukup rindang. Lophey turun dari boncengannya.
“Ada apa, Kak?” Lophey terheran-heran. “Apa sepedanya kempes lagi?”
“Gak. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Kataku takut-takut.
“Ada apa ya?” tanyanya penasaran.
“Ehm… mungkin ini gak sopan banget.” Jeda sebentar. “ Tapi… aku, aku harus ngomong juga pada akhirnya. Ehmm…Would you be my girlfriend?” Wuih… lega juga bisa ngungkapin perasaanku, setidaknya. Tapi… gimana kalo dia… ihh.. udah ah.
Lophey terkejut mendengar pernyataanku barusan. Ia terlihat berpikir keras. “Ehm… maaf Kak…”
Yah… alamat ditolak nih. Ya udah deh gak pa-pa. Pasrah. “Ya aku tau kok, Phey.”
“Aku gak bisa jawab sekarang.”
Fiuh… kirain.. gak pa-palah. Toh masih ada kemungkinan aku diterima kan. He…
Aku hanya mengangguk tolol. Oh my God.. Lophey kan lagi sakit, ngapain ku berhenti di tengah jalan sih.. Goblok banget gue.
“Ya udah naik. Kamu harus istirahat. Sorry ya?”
Ia hanya mengangguk kecil. Ia terlihat lucu,he…

Perasaanku pagi ini tidak menentu. Aku teringat akan Lophey. Ada apa ya? Pertanyaan itu mengangguku. Terus menerus. Aku menambah kecepatan MP kesayanganku. Ya, hari ini aku memaksa Ayah untuk mengijinkanku membawa motor. Berhasil. Perasaanku semakin tidak keruan ketika mendekati rumahnya. Banyak orang berkerumun di sana. Aku memarkir motorku asal-asalan, dan memberanikan diri menghampiri rumah itu, rumah Lophey. Isak tangis terdengar semakin keras. Orang-orang itu menatapku dengan iba, seperti melihat orang tua renta yang tidak makan selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Aku menerobos kerumunan itu, terus melangkah, dan tiba-tiba saja ada seorang ibu-ibu yang menghampiriku, masih dengan isak tangisnya.
“Lophey, nak Ichi, Lophey….” Ucapnya diantara isak tangis yang semakin deras.
“A-ada apa dengan…. Lophey?” hatiku semakin tak keruan. Sungguh.
“Dia…dia…”
Belum sempat Tante Aini menyelesaikan kalimatnya, aku sudah berlari ke dalam rumah Lophey. Dadaku semakin sesak saat melihat tubuh Lophey yang sudah tak berdaya itu.
“Loph….”
“Ichhhhhiiiiiiiii….!”
Aku terlonjak bangun, gelagapan mencari sumber suara itu. Anak-anak yang lain menertawakanku Ya ampuuunnn suaranya, hemm... kayak halilintar deh. Kepalaku mulai terasa pusing.
“Sudah berapa kali kamu tidur di kelas saat pelajaran sedang berlangsung, heh?” terdengar suara Bu Sonia yang super galak itu, lagi.
Ya ampun… ternyata tadi cuma mimpi aja? Haaaahhh? Urghhh sebel…..!!
“Ichi, kamu dengar pertanyaan Ibu barusan tidak? Jawab!” suara Bu Sonia kembali menggelegar, melihat Ichi yang diam saja.
Ichi yang sedang melamun kembali terlonjak. “Bu, kira-kira aku udah tidur berapa jam ya?” aku berpikir keras, tak mengacuhkan pertanyaan Bu Sonia.
“Ichi…” Bu Sonia terlihat sangat geram.
Tet…tet…tet…
Terdengar bunyi bel istirahat. Bu Sonia membereskan buku-bukunya dan segera meninggalkan kelas.
Aku keluar kelas, mengikuti anak-anak yang lainnya. Kantin adalah tujuanku. Ya, aku butuh sesuatu yang fresh. Saat aku melewati kelas XI IPS 1, aku melihat dia. Ya, betul. Dia. Dia melihatku, dan…. tersenyum padaku. Aku mengenal senyum itu.
“My Lophey…”


Cerita ini hanya fiktif belaka, jika terdapat kesamaan baik nama maupun peristiwa, sorry…. emang sengaja. :D

CU next time…:D

Cinta Salah Sambung?


Malam belum begitu larut, hujan yang mengguyur bumi sejak sore tadi belum juga reda. Di kamar yang bernuansa biru terlihat seorang gadis berbaring telentang di ranjangnya, memejamkan matanya dengan rileks.
Trrrt. Ponselnya bergetar. Sederet nomor asing yang tidak pernah diketahuinya muncul di layar ponsel. Ragu-ragu ia memencet tombol penerima.
“Halo?”
“Halo, Vin, please jangan matiin telponnya. Beri gue waktu buat ngejelasin semuanya, please Vin…”
Davina mengernyit, berusaha menebak suara sang penelepon. Ngejelasin? Ngejelasin apa? batin Davina. “Maaf ini siapa ya?” tanya Davina ragu-ragu.
“Vin, ni gue Dame. Mungkin kamu masih marah ma gue. Gue maklum. Gue nyesel ngebentak-bentak kamu tadi sore, sorry gue emosi banget. Gue gak suka kalo kamu jalan bareng Ari. Dan sikap kamu ke gue yang berubah akhir-akhir ini makin buat gue emosi berat. Kamu mau kan maafin gue?”
“Maaf salah sambung.” Semprot Davina.
“Gue tau kamu masih marah ma gue. Please besok setelah pulang sekolah temui gue di rumah makannya Pak Jo, disamping sekolahmu, gue mau ngejelasin semuanya. Please ya temui gue. Maaf ya udah ganggu kamu, good night.”
Klik.
Davina dibuat bingung oleh penelepon yang ngakunya bernama Dame itu.
Siapa Dame?
Bentak-bentak gue tadi sore?
Jalan bareng Ari?
Don’t know deh. Tadi siang Davina emang jalan, tapi bukan ma Ari. Dan emang sih tadi sore Davina dibentak-bentak, tapi ama kakaknya gara-gara ngotorin sepatunya.
Capek ah. Davina Malas menebak-nebak. Sekarang sudah saatnya tidur. Davina tidak ingin terlambat bangun.



Bel tanda pelajaran usai berbunyi. Davina membereskan buku-buku dan peralatan tulisnya. Ririn dan Meela menghampirinya.
“Yuk ah cabut.” Kata Ririn.
“Yuk…”
Mereka berjalan menyusuri koridor sekolah yang ramai. Tiba-tiba ponsel Davina bergetar. Buru-buru dia mengangkatnya.
“Halo?”
“Halo, Vin, gue udah di rumah makannya Pak Jo ni. Segera ya…”
Orang aneh itu lagi. “Rumah makan Pak Jo, disamping SMANROS?” tanya Davina.
“Ya iyalah. Kamu sekolah di SMANROS kan? Cepet ya..”
Klik.
“Nih orang aneh banget, masa’ tau kalo gue sekolah di SMANROS segala sih?” Davina ngedumel sendiri.
“Siapa?” tanya Meela penasaran.
“Gak tau, tapi dia ngakunya Dame. Dia minta ketemu di rumah makan Pak Jo. Gimana nih?” Davina meminta pendapat kedua sobatnya tersebut.
“Secret admirer ya, Dav?” Ririn terkikik sendiri. “Temuin aja, siapa tau dia orangnya keren, handsome, kan bisa dijadiin pacar tuh.”
“Mau nemenin gue?”
“Aduh sorry….gak bisa, udah janji ama Mama mau pulang cepat. Sebenarnya gue pengin banget ketemu ama secret admirer loe itu.” Ririn terlihat menyesal.
“Ihhh…rese loe Rin. Dia tuh bukan secret admirer gue. Kalo loe, Meel?” tatapannya beralih ke Meela.
“Juga. Bentar lagi Galuh mau jemput gue. Sorry ya?” Meela ngerasa gak enak ma Davina.
“Sendirian donk.”
“Kan biar lebih romantis.” Kata Ririn asal-asalan. Yang disambut jitakan dari Davina.
“Apa-apaan sih Rin.” Semprot Davina.
“Peace….”
Ketiganya terbahak-bahak.



Rumah makan Pak Jo……
Davina celingak-celinguk, mencari sosok Dame. Oh iya gue kan gak tau yang namanya Dame itu kayak apa, pikir Davina. Davina menghampiri Pak Jo, pemilik rumah makan tersebut.
“Eh neng Davin, mau pesan apa neng?” tanya Pak Jo, setelah Davina berdiri disampingnya.
“Biasa Pak. Oh ya Pak, tau yang namanya Dame gak?” Davina berkata pelan, takut yang dimaksud dengar.
“Dame? Oh yang neng Davin maksud itu yang duduk disana?” Pak Jo menunjuk ke sudut ruangan.
“Yang di sudut ruangan itu Pak?” tanya Davina. Sambil mengamati cowok tersebut. Bukan anak SMANROS, kelihatan seperti anak kuliahan.
“Iya neng. Emang ada apa toh neng?” tanya Pak Jo penasaran.
“Gak pa-pa kok Pak. Oh ya nanti pesanannya diantar ya Pak. Yuk mari Pak…” Davina meninggalkan Pak Jo, dan menghampiri Dame.
Davina duduk di hadapan Dame, lalu berkata, “Dame ya?”
Yang ditanya malah mengernyit. Lalu menjawab dengan ragu-ragu. “Iya. Kamu siapa?”
“Yang barusan kamu telepon.” Davina menjelaskan.
“Maaf aku aja gak tau siapa kamu. Ngapain aku telepon-telepon kamu.” Kata Dame. Menatap Davina dengan seksama, berharap pernah melihatnya. Tapi nihil.
“Harusnya aku yang tanya itu ke kamu. Tadi malam tiba-tiba kamu telepon aku, terus minta maaf ke aku. Kemudian minta ketemu disini.” Davina mulai kesal dengan cowok di hadapannya ini. Apa sih maunya?
Dame terlihat sedang berpikir. Mencerna apa yang dikatakan Davina barusan.
Davina gemes banget ama Dame. Masih gak percaya juga tuh orang. Davina mengambil ponselnya, lalu memencet beberapa nomor. Di hadapannya, Dame sedang mengambil sesuatu di sakunya. Ternyata ponselnya bergetar. Lalu memencet tombol penerima.
“Masih gak percaya?” Davina memelototinya.
“Iya aku percaya.” Jawab Dame.
Klik.
“Jadi, aku bukan orang yang kamu maksud.” Kata Davina kalem.
“Sorry ya..” Dame tampak menyesal.
“Never mind.”
Pesanan Davina pun datang, pembicaraan terhenti. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Oh iya, kenalin namaku Damian, panggil aja aku Dame.” Kata Dame, tak ingin berlarut-larut dalam kesunyian.
“Davina, panggil Davin aja.” meminum Orange Juicenya. “Oh ya, sebenarnya tadi malam kamu mau nelepon siapa?” Davina teringat ketika Dame meneleponnya tadi malam Dame memanggilnya Vin. “Terus kok bisanya nyasar ke aku?”
“Oh itu, sebenarnya aku mau nelepon Vina. Nomornya baru dan aku belum terlalu hafal. Soal tadi malam sorry banget ya? Aku udah ganggu kamu.” Dame merasa bersalah banget.
“Udahlah gak pa-pa. Tau gak, pas aku ceriatain ke sobatku, katanya kamu tuh secret admirerku.” Davina tertawa renyah. “Gak mungkin banget ya?”
“Ya mungkin aja lah, Dav.”
Davina tertawa mendengar jawaban Dame. “Vina yang kamu maksud ini Vina Pratiwi, Dame?” Davina kembali ke topik awal.
Dame mengangguk pelan.
Keduanya terlihat semakin akrab. Merekapun ngobrol tentang berbagai hal, mulai hubungan Dame dengan Vina, sekolah Davina, kuliah Dame di Jogja, dan berbagai hal lainnya. Sampai-sampai mereka gak nyadar kalo sore udah menjelang.



Dua hari kemudian di rumah makan Pak Jo…..
“Sorry ya Dame, baru sekarang aku baru bisa mengajak Vina ketemu ama kamu.” Kata Davina sambil menghela napas.
“Never mind. By the way mana Vinanya?” tanya Dame, air mukannya terlihat berseri-seri.
“Bentar lagi juga datang.” Kata Davina singkat.
Davina tidak tau harus melakukan apa. Perasaanya tak menentu. Keheningan merayap…
Tiba-tiba sebuah suara memecah kesunyian yang berlarut-larut.
“Ehem.. maaf ya gue datang terlambat.” Vina duduk di sebelah Davina. “Loe ngundang Dame juga, Dav?” tanyanya penuh selidik. Dame tampak sangat gembira melihat kedatangan Vina.
“Yah…begitulah.” Kata Davina dengan air muka yang tidak dapat ditebak. Ada perasaan aneh yang perlahan-lahan memenuhi dadanya, dan hatinya terasa sakit. Davina menelan ludah dengan susah payah. “Tugasku sudah selesai, aku harus segera pamit, masih ada banyak urusan.” Terang Davina, tersenyum dengan susah payah. Segera beranjak dari duduknya, dan meninggalkan mereka berdua. Sebelum mencapai pintu keluar, Davina menoleh ke Dame dan Vina yang terlihat udah baikkan, dan terlibat perbincangan yang seru. Dadanya sesak melihat itu semua. Ia melanjutkan langkahnya, dengan deraian air mata.



Malamnya di rumah Davina….
“Salah gak sih kalo gue suka ama seseorang?” tanya Davina tiba-tiba. Ririn dan Meela menatapnya heran.
“Emangnya loe suka ama siapa?” tanya Meela penasaran, soalnya Davina gak pernah sepeti ini.
“Gue tau, pasti loe suka ama secret admirer loe itu kan? Yang loe temuin di rumah makannya Pak Jo beberapa waktu lalu itu?” kata Ririn histeris.
Davina mengangguk perlahan.
“Wah… seratus buat Ririn!” kata Ririn bangga.
“Terus apa masalah loe. Dav?” Meela kembali ke topik semula.
“Dia udah punya cewek.” Kata Davina lirih, hampir tidak terdengar Meela dan Ririn.
“Nah itu yang salah. Loe suka ke dia di saat yang salah, di saat dia udah punya cewek, Dav.” Terang Meela.
“Gue tau.” Davina pasrah. Tiba-tiba Davina berseru dengan semangat 45, “Mulai sekarang gue mau ngelupain dia.”
“Tenang aja Dav, cowok kan bukan dia doank. Apa loe mau gue kenalin ke sepupu gue yang cakep itu?” celoteh Ririn.
“Arya maksud loe? Ihh….ogah banget. Dia kan playboy kelas kakap, masa’ loe mau masukin gue ke mulut buaya sih?” omel Davina. Davina bisa melupakan masalahnya bila bersama dengan kedua sobatnya, Ririn dan Meela.
“Iya Dav, jangan mau!” bela Meela.
“Iya juga sih… Arya itu playboy.” Ririn manggut-manggut. “Udah ah lupain. Gue ada ide. Gimana kalo kita keluar cari angin?” Ririn menatap bergantian ke kedua sobatnya tersebut.
“Ngapain cari angin, mending cari nasi goreng aja.” Kata Davina cepat.
“Good idea.”
“Let’s go….”


Di suatu malam……
“Dame? Ngapain kamu disini?” Davina kaget ketika mengetahui siapa yang bertamu malam-malam gini. Mereka udah lama gak ketemu.
“Maaf ya udah ganggu kamu.”
“Never mind.” Davina tersenyum, lalu duduk di kursi yang satunya. Ngapain Dame datang malam-malam gini? Harusnya Dame kan di Jogja. Soal Vina lagi? Oh my God, gue gak sanggup.
Untuk beberapa detik gak ada yang bicara. Hingga akhirnya Davina berkata, “Ada masalah lagi dengan Vina?”
“Nothing. Kami kan udah putus.” Jawab Dame kalem.
“Putus?” Davina terkejut dengan apa yang barusan didengarnya, namun hatinya sedikit lega.
“Sorry aku belum cerita ke kamu, kamu sendiri sih susah dihubungin.” Dame membela diri.
“Oh…eh..aku sibuk akhir-akhir ini.” Kata Davina, tergagap.
“Oh gitu..”
“Terus kamu disini mau ngapain?”
“Kamu gak suka ya kalo aku datang?” tanyanya, mendengar nada bicara Davina yang ketus.
“Ya….gak gitu, ini kan udah malam Dame. Apa gak bisa besok aja?” Davina beralasan.
“Gak bisa, aku takut semuanya akan terlambat.” Ada kegugupan disuaranya.
“Terlambat? Ada apa sih?” Davina jadi penasaran.
“Dav, aku sedang fall in love ne?” katanya terang-terangan.
‘Aduh……gue gak sanggup beneran. Kenapa kalo hal-hal yang sensitif gini curhatnya ke gue? Dame….please jangan buat gue broken heart lagi. Please jangan cerita ini di depan gue.’
Dame mengamati Davina yang diam saja dan terlihat pucat. “Dav, kamu gak pa-pa?” tanyanya khawatir.
“Eh..gak pa-pa kok.”
“Enaknya gimana, Dav?”
“Emmm….ya nyatakan langsung aja.” Katanya, berusaha bersikap wajar.
‘Kenapa harus gue sih?’ batin Davina. Hatinya bagai tersayat oleh pisau berkarat.
“Oh…gitu ya. Terus kira-kira dia mau terima aku gak ya?” Dame masih saja bertanya.
“Ya mana aku tau, Dame?” jawab Davina, sebel.
“Masa’ gak tau sih?” tanyanya menggoda.
“Dame, kamu tuh aneh. Ya mana aku tau. Itu kan urusannya dengan hati, jadi gak bisa ditebak-tebak.” Davina sewot abiz.
“Aku tau. Tapi hati yang dimaksud itu punya seseorang yang ada di sampingku, sekarang. Jadi?” kata Dame takut-takut.
Deg.



Esoknya di rumah makan Pak Jo…
“Ngapain sih Dav kita di sini? Gak asyik tau, mana dari tadi cuma pesan minum doank, kapan pesan makanannya?” tanya Ririn sewot.
“Bentar lagi ah. Tunggu dia dulu.” Jawab Davina kalem.
Meela diam saja, sambil meminum OJnya.
“Sorry, dah lama nunggu ya?” tanya Dame yang baru datang, dan duduk di samping Davina.
Davina memperkenalkan Dame kepada kedua temannya.
“Oh jadi ini secret admirer loe?” tanya Ririn tiba-tiba.
Davina tersenyum mendengar ucapan Ririn. “He isn’t my secret admirer, but my sweetheart.”
Meela terkejut mendengar penuturan Davina barusan, tapi Davina segera meyakinkannya dengan tatapan mautnya. Meela tersenyum melihatnya.
“Jadi….cinta tumbuh karena salah sambung ne?” Meela menggoda.
Semuanya tertawa.

Desember Rain


“Kak….” Teriak Achi.
“Apa sih Chi?” Cachi menjawab ogah-ogahan. Asyik bergelung di sofa kebanggaanya di ruang keluarga. Menonton acara kesukaannya.
“Ada telepon dari Kak Mack!” Teriak Achi, lagi.
Cachi segera bergegas ke kamarnya, di lantai dua. Langkahnya berderap saat meniti anak tangga.
“Anak kecil keluar!” Bentak Cachi, sesampainya di kamar.
“Urghh…” Achi menyeret langkahnya keluar. “Kakak rese’.” Umpatnya.
Cachi memencet tombol penerima. “Iya, ada apa, Mack?” nafasnya tersengal-sengal.
Tidak ada jawaban dari seberang.
“Mack?”
Tidak ada suara, hanya hembusan nafas yang terdengar.
“Mack! Kamu membuatku takut. Ada apa? Ada masalah?” Cachi mondar-mandir di kamarnya.
“Chi, semuanya gak mungkin akan jadi kenyataan bukan?” tanya Mack lirih.
“Kenyataan? Apa yang jadi kenyataan?” Cachi terbengong-bengong. Bingung.
“Aku gak bisa menyayanginya lebih dari semua itu. Gak akan pernah bisa. Aku takut mengecewakannya. Takut melukai hatinya.” Suaranya terdengar sangat lirih.
“Kita ngomongin apa sih, Mack?” tanya Cachi. Semakin bingung. Ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih kebiru-biruan.
“Aku akan selalu merindukanmu, my dear.”
Klik.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa juga dia berbicara seperti itu? Mack, kau membuatku gila, batin Chaci. Cachi menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Apakah ini soal Joanna? Batin cachi lagi.



“Aku sayang kamu, Chi.”
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Cachi. Suatu ketika di bulan November, Ichan menyatakan perasaannya ke Cachi. Hingga Cachi bingung dibuatnya. Karena selama ini ia menyimpan perasaannya untuk seseorang.
“Urgh…” Cachi menghela nafas keras-keras. Dan tawanya pun pecah.
“Kakak!” Sembur Achi yang asyik bermain games di komputer Cachi.
“Chi? Apa kita bisa jatuh cinta pada sahabat kita sendiri?” tanya Cachi lirih.
“Bisa dunk. Emang Kakak lagi jatuh cinta?” Jawab Achi asal-asalan.
“Kakak takut, kalo ternyata Kakak salah mengartikannya. Tapi, Kakak gak mau kehilangan dia. Kakak takut…” Air matanya mulai membasahi pipi mulusnya.
“Kak?”
“Kakak bingung, Chi.”
“Kenapa?” Sekarang Achi duduk di samping kakaknya, mengenggam tangannya lembut. Mencoba memberikan kekuatan.
“Kakak takut dia gak mempunyai perasaan yang sama seperti yang Kakak rasakan. Lagi pula, sekarang dia berubah. Sepertinya, dia menjauhiku.” Jeda sebentar. “Masing-masing dari kami pun sudah ada yang menanti.”
“Kenapa Kakak gak coba menyatakan perasaan Kakak?” tanya Achi hati-hati.
“Apa Kakak bisa?”
“Jawabannya ada pada diri Kakak.”
Tangis Cachi makin menjadi-jadi saat mendengar lagu Listen To Your Heartnya Roxette yang diputar Achi.

Listen to your heart
When he’s calling for you
Listen to your heart
There’s nothing else you can do
I don’t know where you’re going
And I don’t know why
Listen to your heart
Before you tell him goodbye…




Pelajaran pertama hampir selesai. Tapi, Macky belum juga datang. Cachi tak henti-hentinya melirik bangku di sampingnya yang kosong itu. Tak ada satu pun materi yang di sampaikan Pak Ari masuk ke otaknya.
Tet… tet…
“Sampai di sini pelajaran kita kali ini. Pagi…” Pak Ari bergegas keluar kelas. Kelas pun sontak menjadi ramai.
Cachi sibuk dengan handphonenya. Mencoba menghubungi Mack. Tapi yang tedengar hanya suara operator telepon.
“Huft… Mack…”


“Tumben, Non, udah berangkat?” Sambil mengacak-acak rambut Cachi.
“Mack! Apa-apaan sih? Berantakan tau?” Cachi merapikan rambutnya yang hitam panjang. Dan kembali berkonsentrasi dengan buku di depannya.
“Sedang apa sih? Serius amat!” Macky memerhatikan Cachi dan bukunya.
“Tugas Bahasa Jermanku belum selesai, aku harus menyelesaikannya, Mack!” Kata Cachi sambil lalu.
“Oh… Aku lihat punyamu aja ya?”
“Macky!”
“Bercanda, sayang…”
Deg!
Sayang? Dia bilang sayang? Aku gak salah dengar kan? Oh my God… batin Cachi. Ia menoleh dan memerhatikan Macky yang sedang tertawa di sampingnya. “Mack..?”
Macky berhenti tertawa dan menoleh ke Cachi. “Ya?”
“Ka..kau…”
“Aku bercanda. Udah jangan diambil hati.” Macky memotong ucapan Cachi yang terbata-bata.
“Oh…”
Cachi menggelengkan kepalanya dan melanjutkan pekerjaanya.

Trrrt…
Ponselnya bergetar. Membuyarkan lamunannya akan Mack. Ia melirik layar, berharap itu Mack yang menelepon. Tetapi putus harapannya saat melihat nama Ichan yang berkedip-kedip di layar. Dengan ogah-ogahan ia memencet tombol penerima.
“Ya..?”
“Macky sakit. Ia sekarang di rumah sakit. Aku dan Jo akan ke sana sepulang sekolah. Kau mau ikut, Chi?” Kata Ichan.
Cachi mengangguk pelan. Ia terlihat sangat kaget akan berita ini. Wajahnya pucat pasi.
“Chi..?”
Saat ia sadar bahwa Ichan tidak melihat dirinya. Ia berkata lirih, “Ya, aku ikut.”
“Kau baik-baik saja?” tanya Ichan lagi.
“Yeah.” Sepertinya begitu.
Klik.



“Macky kenapa, Tante?” tanya Jo, ia terlihat sangat khawatir. Berkali-kali ia melongok ke kamar yang di tempati Macky.
“Ia akan baik-baik saja, Nak. Ia hanya kecapekan.” Kata Tante Mira. Mencoba menenangkan kami semua.
“Oh, syukurlah.” Jo merasa lebih lega.
Cachi hanya bersandar di dinding, di depan kamar Macky. Angannya menerawang jauh. Di sampingnya, Ichan, juga melakukan hal yang sama.
“Kau… baik-baik saja, Chi?” tanya Ichan. Memecahkan kesunyian.
Cachi hanya mengangguk pelan.
“Kau mau minum?” tanya Ichan, lagi.
“Makasih…” katanya lirih.
“Aku akan ke cafetaria, membelikan sesuatu untukmu dan Jo. Perut kalian belum terisi sejak tadi siang. Aku segera kembali.” Kata Ichan. Dan melenggang pergi menuju cafetaria.
“Tante?”
“Ya?”
“Boleh aku menengok Macky ke dalam?” tanya Jo ragu-ragu.
Tante Mira mengangguk pelan.
“Makasih,..” Jo berdiri dan merapikan seragamnya. Menarik nafas satu dua kali. Dan membuka pintu kamar tempat Macky dirawat dengan sangat pelan. Dan menutupnya kembali.
“Sebenarnya apa yang terjadi Tante?” tanya Cachi. Ia melangkah mendekati Tante Mira. Dan duduk di sampingnya.
Tante Mira menoleh dan mengenggam tangan Cachi lembut. Matanya berkaca-kaca.
“Tante?”



“Kak…?”
Achi membuka pintu kamar Cachi dengan sangat perlahan. Sang empunya sedang tengkurap di ranjangnya, menangis sesenggukan. Dan menutup pintu di belakangnya.
“Tangis Kakak terdengar di seluruh penjuru rumah ini. Kakak gak mau cerita kenapa?” tanya Achi yang duduk di sampingnya.
Cachi berbalik dan mencoba untuk duduk. Menghapus air matanya yang masih terus mengalir. “Aku baik-baik saja.”
“Tapi aku gak yakin.” Kata Achi cuek.
Tangisnya semakin kencang. “Aku gak tau harus ngapain.” Kata Cachi di sela-sela air matanya. “Semuanya udah terlambat”
“Lebih baik terlambat kan dari pada gak sama sekali?” Achi mencoba menghibur kakaknya.
“Andai selama ini aku tau. Aku takkan menyia-nyiakan waktuku, untuk mengungkapkan perasaanku ini padanya. Tapi, setelah aku tau pun, kenyataannya aku gak bisa…” Mengusap air matanya yang terus membanjir, “Aku gak bisa.”
“Apa yang terjadi?”
“Dia mengidap kanker otak. Hidupnya tak lama lagi.” Kata Cachi meniru seperti yang di ucapkan tante Mira.
Achi memeluk kakaknya, mencoba menenangkannya. Membiarkan pundaknya basah oleh air mata Cachi.
“Waktumu tak banyak, Kak.”



Di siang yang panas, sepulang sekolah, Cachi menyusuri koridor rumah sakit yang ramai. Ia segera bergegas ke kamar tempat Macky di rawat. Ia membuka pintu sangat perlahan. Takut mengganggu Macky yang sedang istirahat.
“Siang,..” sapa Cachi, dan menutup pintu di belakangnya.
Macky menoleh ke arah Cachi dan tersenyum lemah. “Chi…”
Cachi meletakkan buah-buahan yang ia bawa di meja di samping ranjang. “Aku baik-baik saja, Mack.” Cachi tesenyum lebar.
Pintu kamar tempat Macky di rawat terbuka, Tante Mira memasuki kamar dan menutup pintu.
“Cachi…”
“Siang, Tante…”
“Macky akan segera di operasi…” kata Tante Mira, lagi.
Deg!
Cachi menoleh ke arah Tante Mira. Dan Tante Mira hanya mengangguk.
“Maaf Chi, aku gak pernah cerita kepadamu tentang…” kata Macky lirih. Tak menyelesaikan kalimatnya.
Cachi mencoba tersenyum, dan mengangguk-anggukan kepalanya. “Yeah…”
Ia memalingkan wajahnya dan mengusap air mata yang menetes.


Hujan yang mengguyur bumi sejak tadi sore belum juga reda. Seperti ketegangan yang terjadi di ruang tunggu operasi. Jo, Cachi, Tante Mira dan Ichan terlihat sangat tegang. 6 jam berlalu dan tak ada yang berkata-kata. Semuanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Lampu operasi telah padam dan seorang dokter keluar. Ia pun merasakan ketegangan yang sama.
Tante Mira segera menyongsong dokter tersebut, di ikuti Jo.
“Bagaimana, Dok?” tanya Tante Mira.
Dokter menghela nafas, lalu, “Kami sudah berusaha semampu kami, Bu…”
Tangis Tante Mira pecah, begitu pula Jo. Sementara itu, Cachi menatap mereka dengan pandangan tak percaya.
Ichan mengenggam tangan Cachi. Dan menarik Cachi ke pelukannya. Menenangkannya.
Cachi tersenyum sinis, “Bahkan aku pun takkan pernah bisa menjadi sahabat yang baik, aku tak pernah bisa jujur padanya.” Dan tangisnya pun pecah.
“Sudahlah, Chi…” Ichan menenangkannya.
“Sampai ajal menjemputnya pun ia tak akan pernah tau betapa aku…” tangisnya semakin kencang, “aku mencintainya…” Kata Cachi di sela-sela isak tangisnya. “Betapa pengecutnya aku. Maafkan aku, Chan…”



Love like water of sea that filled some of the content of the earth, gives many lives, makes people want to know, and each person must have experienced love, love is sincerity, love is the will, understand each other’s love, love is beuatiful if we can put it in the best place in the heart, make love is beautiful in your hearts, because love can be as beautiful as you want…
I’m sorry because I couldn’t be a good friend. I don’t want our friendship ruined because of this forbidden feelings. Ich liebe dich, Cachi…
I’m sorry because I’m stupid….


Macky

Di suatu pagi yang dingin, di bulan Desember, Cachi membaca surat terakhir dari Macky berulang-ulang kali, hingga dia hafal di luar kepala. Tangisnya pecah, saat ia membaca surat itu. Selalu.
“Ich liebe dich auch, Mack…”