Rabu, 17 Maret 2010
Desember Rain
“Kak….” Teriak Achi.
“Apa sih Chi?” Cachi menjawab ogah-ogahan. Asyik bergelung di sofa kebanggaanya di ruang keluarga. Menonton acara kesukaannya.
“Ada telepon dari Kak Mack!” Teriak Achi, lagi.
Cachi segera bergegas ke kamarnya, di lantai dua. Langkahnya berderap saat meniti anak tangga.
“Anak kecil keluar!” Bentak Cachi, sesampainya di kamar.
“Urghh…” Achi menyeret langkahnya keluar. “Kakak rese’.” Umpatnya.
Cachi memencet tombol penerima. “Iya, ada apa, Mack?” nafasnya tersengal-sengal.
Tidak ada jawaban dari seberang.
“Mack?”
Tidak ada suara, hanya hembusan nafas yang terdengar.
“Mack! Kamu membuatku takut. Ada apa? Ada masalah?” Cachi mondar-mandir di kamarnya.
“Chi, semuanya gak mungkin akan jadi kenyataan bukan?” tanya Mack lirih.
“Kenyataan? Apa yang jadi kenyataan?” Cachi terbengong-bengong. Bingung.
“Aku gak bisa menyayanginya lebih dari semua itu. Gak akan pernah bisa. Aku takut mengecewakannya. Takut melukai hatinya.” Suaranya terdengar sangat lirih.
“Kita ngomongin apa sih, Mack?” tanya Cachi. Semakin bingung. Ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih kebiru-biruan.
“Aku akan selalu merindukanmu, my dear.”
Klik.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa juga dia berbicara seperti itu? Mack, kau membuatku gila, batin Chaci. Cachi menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Apakah ini soal Joanna? Batin cachi lagi.
“Aku sayang kamu, Chi.”
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Cachi. Suatu ketika di bulan November, Ichan menyatakan perasaannya ke Cachi. Hingga Cachi bingung dibuatnya. Karena selama ini ia menyimpan perasaannya untuk seseorang.
“Urgh…” Cachi menghela nafas keras-keras. Dan tawanya pun pecah.
“Kakak!” Sembur Achi yang asyik bermain games di komputer Cachi.
“Chi? Apa kita bisa jatuh cinta pada sahabat kita sendiri?” tanya Cachi lirih.
“Bisa dunk. Emang Kakak lagi jatuh cinta?” Jawab Achi asal-asalan.
“Kakak takut, kalo ternyata Kakak salah mengartikannya. Tapi, Kakak gak mau kehilangan dia. Kakak takut…” Air matanya mulai membasahi pipi mulusnya.
“Kak?”
“Kakak bingung, Chi.”
“Kenapa?” Sekarang Achi duduk di samping kakaknya, mengenggam tangannya lembut. Mencoba memberikan kekuatan.
“Kakak takut dia gak mempunyai perasaan yang sama seperti yang Kakak rasakan. Lagi pula, sekarang dia berubah. Sepertinya, dia menjauhiku.” Jeda sebentar. “Masing-masing dari kami pun sudah ada yang menanti.”
“Kenapa Kakak gak coba menyatakan perasaan Kakak?” tanya Achi hati-hati.
“Apa Kakak bisa?”
“Jawabannya ada pada diri Kakak.”
Tangis Cachi makin menjadi-jadi saat mendengar lagu Listen To Your Heartnya Roxette yang diputar Achi.
Listen to your heart
When he’s calling for you
Listen to your heart
There’s nothing else you can do
I don’t know where you’re going
And I don’t know why
Listen to your heart
Before you tell him goodbye…
Pelajaran pertama hampir selesai. Tapi, Macky belum juga datang. Cachi tak henti-hentinya melirik bangku di sampingnya yang kosong itu. Tak ada satu pun materi yang di sampaikan Pak Ari masuk ke otaknya.
Tet… tet…
“Sampai di sini pelajaran kita kali ini. Pagi…” Pak Ari bergegas keluar kelas. Kelas pun sontak menjadi ramai.
Cachi sibuk dengan handphonenya. Mencoba menghubungi Mack. Tapi yang tedengar hanya suara operator telepon.
“Huft… Mack…”
“Tumben, Non, udah berangkat?” Sambil mengacak-acak rambut Cachi.
“Mack! Apa-apaan sih? Berantakan tau?” Cachi merapikan rambutnya yang hitam panjang. Dan kembali berkonsentrasi dengan buku di depannya.
“Sedang apa sih? Serius amat!” Macky memerhatikan Cachi dan bukunya.
“Tugas Bahasa Jermanku belum selesai, aku harus menyelesaikannya, Mack!” Kata Cachi sambil lalu.
“Oh… Aku lihat punyamu aja ya?”
“Macky!”
“Bercanda, sayang…”
Deg!
Sayang? Dia bilang sayang? Aku gak salah dengar kan? Oh my God… batin Cachi. Ia menoleh dan memerhatikan Macky yang sedang tertawa di sampingnya. “Mack..?”
Macky berhenti tertawa dan menoleh ke Cachi. “Ya?”
“Ka..kau…”
“Aku bercanda. Udah jangan diambil hati.” Macky memotong ucapan Cachi yang terbata-bata.
“Oh…”
Cachi menggelengkan kepalanya dan melanjutkan pekerjaanya.
Trrrt…
Ponselnya bergetar. Membuyarkan lamunannya akan Mack. Ia melirik layar, berharap itu Mack yang menelepon. Tetapi putus harapannya saat melihat nama Ichan yang berkedip-kedip di layar. Dengan ogah-ogahan ia memencet tombol penerima.
“Ya..?”
“Macky sakit. Ia sekarang di rumah sakit. Aku dan Jo akan ke sana sepulang sekolah. Kau mau ikut, Chi?” Kata Ichan.
Cachi mengangguk pelan. Ia terlihat sangat kaget akan berita ini. Wajahnya pucat pasi.
“Chi..?”
Saat ia sadar bahwa Ichan tidak melihat dirinya. Ia berkata lirih, “Ya, aku ikut.”
“Kau baik-baik saja?” tanya Ichan lagi.
“Yeah.” Sepertinya begitu.
Klik.
“Macky kenapa, Tante?” tanya Jo, ia terlihat sangat khawatir. Berkali-kali ia melongok ke kamar yang di tempati Macky.
“Ia akan baik-baik saja, Nak. Ia hanya kecapekan.” Kata Tante Mira. Mencoba menenangkan kami semua.
“Oh, syukurlah.” Jo merasa lebih lega.
Cachi hanya bersandar di dinding, di depan kamar Macky. Angannya menerawang jauh. Di sampingnya, Ichan, juga melakukan hal yang sama.
“Kau… baik-baik saja, Chi?” tanya Ichan. Memecahkan kesunyian.
Cachi hanya mengangguk pelan.
“Kau mau minum?” tanya Ichan, lagi.
“Makasih…” katanya lirih.
“Aku akan ke cafetaria, membelikan sesuatu untukmu dan Jo. Perut kalian belum terisi sejak tadi siang. Aku segera kembali.” Kata Ichan. Dan melenggang pergi menuju cafetaria.
“Tante?”
“Ya?”
“Boleh aku menengok Macky ke dalam?” tanya Jo ragu-ragu.
Tante Mira mengangguk pelan.
“Makasih,..” Jo berdiri dan merapikan seragamnya. Menarik nafas satu dua kali. Dan membuka pintu kamar tempat Macky dirawat dengan sangat pelan. Dan menutupnya kembali.
“Sebenarnya apa yang terjadi Tante?” tanya Cachi. Ia melangkah mendekati Tante Mira. Dan duduk di sampingnya.
Tante Mira menoleh dan mengenggam tangan Cachi lembut. Matanya berkaca-kaca.
“Tante?”
“Kak…?”
Achi membuka pintu kamar Cachi dengan sangat perlahan. Sang empunya sedang tengkurap di ranjangnya, menangis sesenggukan. Dan menutup pintu di belakangnya.
“Tangis Kakak terdengar di seluruh penjuru rumah ini. Kakak gak mau cerita kenapa?” tanya Achi yang duduk di sampingnya.
Cachi berbalik dan mencoba untuk duduk. Menghapus air matanya yang masih terus mengalir. “Aku baik-baik saja.”
“Tapi aku gak yakin.” Kata Achi cuek.
Tangisnya semakin kencang. “Aku gak tau harus ngapain.” Kata Cachi di sela-sela air matanya. “Semuanya udah terlambat”
“Lebih baik terlambat kan dari pada gak sama sekali?” Achi mencoba menghibur kakaknya.
“Andai selama ini aku tau. Aku takkan menyia-nyiakan waktuku, untuk mengungkapkan perasaanku ini padanya. Tapi, setelah aku tau pun, kenyataannya aku gak bisa…” Mengusap air matanya yang terus membanjir, “Aku gak bisa.”
“Apa yang terjadi?”
“Dia mengidap kanker otak. Hidupnya tak lama lagi.” Kata Cachi meniru seperti yang di ucapkan tante Mira.
Achi memeluk kakaknya, mencoba menenangkannya. Membiarkan pundaknya basah oleh air mata Cachi.
“Waktumu tak banyak, Kak.”
Di siang yang panas, sepulang sekolah, Cachi menyusuri koridor rumah sakit yang ramai. Ia segera bergegas ke kamar tempat Macky di rawat. Ia membuka pintu sangat perlahan. Takut mengganggu Macky yang sedang istirahat.
“Siang,..” sapa Cachi, dan menutup pintu di belakangnya.
Macky menoleh ke arah Cachi dan tersenyum lemah. “Chi…”
Cachi meletakkan buah-buahan yang ia bawa di meja di samping ranjang. “Aku baik-baik saja, Mack.” Cachi tesenyum lebar.
Pintu kamar tempat Macky di rawat terbuka, Tante Mira memasuki kamar dan menutup pintu.
“Cachi…”
“Siang, Tante…”
“Macky akan segera di operasi…” kata Tante Mira, lagi.
Deg!
Cachi menoleh ke arah Tante Mira. Dan Tante Mira hanya mengangguk.
“Maaf Chi, aku gak pernah cerita kepadamu tentang…” kata Macky lirih. Tak menyelesaikan kalimatnya.
Cachi mencoba tersenyum, dan mengangguk-anggukan kepalanya. “Yeah…”
Ia memalingkan wajahnya dan mengusap air mata yang menetes.
Hujan yang mengguyur bumi sejak tadi sore belum juga reda. Seperti ketegangan yang terjadi di ruang tunggu operasi. Jo, Cachi, Tante Mira dan Ichan terlihat sangat tegang. 6 jam berlalu dan tak ada yang berkata-kata. Semuanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Lampu operasi telah padam dan seorang dokter keluar. Ia pun merasakan ketegangan yang sama.
Tante Mira segera menyongsong dokter tersebut, di ikuti Jo.
“Bagaimana, Dok?” tanya Tante Mira.
Dokter menghela nafas, lalu, “Kami sudah berusaha semampu kami, Bu…”
Tangis Tante Mira pecah, begitu pula Jo. Sementara itu, Cachi menatap mereka dengan pandangan tak percaya.
Ichan mengenggam tangan Cachi. Dan menarik Cachi ke pelukannya. Menenangkannya.
Cachi tersenyum sinis, “Bahkan aku pun takkan pernah bisa menjadi sahabat yang baik, aku tak pernah bisa jujur padanya.” Dan tangisnya pun pecah.
“Sudahlah, Chi…” Ichan menenangkannya.
“Sampai ajal menjemputnya pun ia tak akan pernah tau betapa aku…” tangisnya semakin kencang, “aku mencintainya…” Kata Cachi di sela-sela isak tangisnya. “Betapa pengecutnya aku. Maafkan aku, Chan…”
Love like water of sea that filled some of the content of the earth, gives many lives, makes people want to know, and each person must have experienced love, love is sincerity, love is the will, understand each other’s love, love is beuatiful if we can put it in the best place in the heart, make love is beautiful in your hearts, because love can be as beautiful as you want…
I’m sorry because I couldn’t be a good friend. I don’t want our friendship ruined because of this forbidden feelings. Ich liebe dich, Cachi…
I’m sorry because I’m stupid….
Macky
Di suatu pagi yang dingin, di bulan Desember, Cachi membaca surat terakhir dari Macky berulang-ulang kali, hingga dia hafal di luar kepala. Tangisnya pecah, saat ia membaca surat itu. Selalu.
“Ich liebe dich auch, Mack…”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar