Rabu, 17 Maret 2010

Lophe


Halte itu sudah menyambutku dengan berjubel anak SMANROS, menanti bus kesayangan masing-masing. Keringat mereka bercucuran, maklum siang ini sangat terik. Aku berdiri di samping segerombolan anak-anak cewek yang asyik menggosip. Ketika aku mendekat, mereka menyapaku dan kuberikan senyum terbaikku untuk membalas sapaannya. Halah…..
Pada awalnya aku keberatan dengan keputusan Ayah, yang melarangku untuk tidak membawa MP kesayanganku ke sekolah. Menghemat, itu kata Beliau. Tapi, itu hanya salah satu alasannya, kukira, kejadian yang sebenarnya adalah Beliau menghukumku atas apa yang telah terjadi padaku dua minggu yang lalu. Yupi…. Kecelakaan. Untung saja tak terjadi apa-apa pada diriku, hanya luka-luka kecil. No problem. Tapi… MP kesayanganku rusak berat. Hiks…hiks….hiks…
Mataku menangkap sesosok gadis yang akhir-akhir ini menjadi perhatianku. Ia mengayuh sepedanya, keluar dari gerbang SMANROS. Tak ada yang istimewa pada dirinya, dia seperti kebanyakan siswi SMANROS lainnya. Dia juga bukan indo seperti mantan pacarku dulu, tapi entah mengapa aku tertarik untuk memperhatikannya. Aku tak sempat menyelesaikan pengamatanku kali ini, karena sekonyong-konyong bus yang akan membawaku pulang datang. Seperti biasanya bus ini penuh sesak. Bus itu berhenti tepat di dekatku. Aku mempersilakan anak-anak cewek untuk naik terlebih dahulu. Ladies first. Halah… kemudian aku mengikuti di belakangnya.

Hari berikutnya halte nampak sepi, maklum hari sudah semakin sore, matahari pun semakin condong ke barat. Hari ini aku memang pulang sore, ada jam tambahan Math. Pelajaran yang menurutku gampang-gampang susah, he3x… Aku duduk di halte, sendirian, menunggu bus terakhir yang akan membawaku pulang. Aku memperhatikan lalu lintas yang tak terlalu ramai, tiba-tiba cewek yang kemarin, melintas di depanku dengan sepadanya. Dia melihatku, dan menyapaku dengan senyumnya. Sungguh, aku tak bisa berkata-kata, aku pasti kelihatan seperti orang bego. Senyum itu… senyum itu terlalu manis buatku. Ah….
Aku melihat sepedanya berhenti tak jauh dariku. Terjadi suatu kesibukan disana. Entah mengapa jantung ini berdetak begitu kencang. Bimbang. Menghampirinya atau tidak. Tapi ini kesempatanku untuk mengenalnya, jika dia mengizinkannya, tentunya. Dengan langkah ragu, aku menghampirinya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kempes kayaknya, Kak.”
Suaranya, ya ampun…. lembut banget. “Bawa ke bengkel aja dulu.”
Dia mengangguk.
Aku menawarkan diri untuk membawakan sepedanya. Awalnya dia menolak, tapi setelah aku paksa, akhirnya dia menyerah juga. Kami berjalan beriringan. Saling diam. Tiba-tiba aku kehilangan suaraku, padahal banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan padanya. Sebel…
Sementara sepedanya diperbaiki, kami memilih duduk di depan bengkel itu. Lagi-lagi diam. Aku benci ini. Dengan jantung yang berdegup kencang, aku memberanikan diri untuk memulai percakapan. Hhff…
“Kalo boleh tau, nama kamu siapa?” tanyaku dengan H2C. Harap-harap cemas.
“Cheelo Veladeetha.”
Busyet… namanya aneh banget. “Terus aku panggilnya siapa?”
“Terserah Kak Ichi sih mau manggil aku siapa, tapi aku biasa dipanggil Lophey.”
Apa? Lophey? Gak Love aja? “Ohh.. gitu. Kelas berapa sih? Kayaknya aku gak pernah lihat Lophey deh.”
“Masa sih? Aku kelas XI IPS 1, ya maklumlah Kak Ichi gak pernah lihat aku, aku baru beberapa bulan disini.” Senyumnya mengembang, memamerkan lesung pipinya.
Oh Tuhan… senyumnya.
Kami mulai akrab. Bicara ini itu, ngebahas tentang program-program sekolah, politik, sosial, ya pokoknya kami udah gak canggung lagi. Hingga dia berseru…
“Oh ya Kak, seharusnya kan Kak Ichi udah pulang. Ini udah sore banget loh. Aku jadi gak enak nih, Kak Ichi pulang aja deh. Makasih atas bantuannya.” Dia terlihat cemas.
“Oh gak pa-pa kok. Aku malah gak enak kalo kamu pulang sendirian.” Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. 17.09 WIB. Bus udah lewat, terpaksa minta jemput deh. Ah.. gak pa-pa lah. Sekali-kali.
“Duh beneran deh Kak, aku pulang sendiri aja. Rumahku gak jauh kok.”
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Ya udah, aku gak mau maksa, tapi nunggu sepadamu benar dulu ya, baru aku pulang, gimana?”
“Deal.”

Hari-hariku berjalan cepat. Mungkin karena aku terlalu sibuk memikirkan UN yang udah di depan mata. Dan itu melelahkan. Sungguh. Tapi bagaimanapun aku harus mengahadapinya. Pasti. Aku dan Lophey pun makin akrab. Ada perasaan menggelitik yang aneh saat aku bersamanya. Jangan bilang kalo aku fall in love. Tapi kayaknya itu deh yang terjadi padaku saat ini. Ini gak salah kan? Gak lucu juga kan kalo aku jatuh cinta, he…
Hari ini aku mendapat slentingan dari teman-teman, kalo Lophey pingsan di kelas. What happen ya? Maka dari itu, setelah bel pulang berbunyi nyaring, aku samperin dia di kelas. Untung saja hari ini gak ada jam tambahan. Dan moga saja Lophey gak ada ekstra.
“Siang Kak Ichi…” sapa anak-anak cewek, ketika aku lewat di depan mereka.
“Siang…”
Jangan heran kalo aku sering disapa ama anak-anak cewek. Maklumlah aku termasuk most wanted di SMANROS. Narsis sedikit gak pa-pa kan? He…
“Udah mau pulang?” aku mengahampiri Lophey yang masih di kelasnya.
“Yap. By the way hari ini gak ada jam tambahan, Kak?”
“Gak ada. Aku antar kamu pulang ya?” aku memperhatikan Lophey yang berdiri di depanku.
“Makasih deh, Kak.”
“Kali ini kamu gak boleh nolak. Aku dengar tadi kamu pingsan di kelas. Kenapa?”
“Oh… Cuma gak enak badan aja.”
“Maka dari itu aku anterin kamu pulang. Aku takut kamu kenapa-kenapa di jalan.”
“Tapi kan…”
“Gak ada tapi-tapian, kita pulang sekarang ya.” Aku melangkah keluar kelas. Kulihat Lophey mengekor di belakangku. Pasrah.

Aku mengayuh sepeda Lophey pelan. Untung saja rumah Lophey gak jauh-jauh amat kok dari sekolah. Jadi.. aku gak capek-capek banget. Wah… teringat Galih dan Ratna nih. Pas aku lewat di depan anak-anak SMANROS, mereka senyam-senyum melihat kami berboncengan naik sepeda. Malu sih, tapi romantis juga. He…
Sungguh jantungku berdegup begitu kencang, sampai aku takut Lophey bakal mendengarnya. Deg-degan banget. Suer deh! Aku pun jadi gugup nih. Ngomong, nggak, ngomong, nggak, ngomong, nggak…hhfff…
“Phey…?”
“Hmm..”
“Kamu gak pa-pa kan?”
“Yap, I’m fine. Emang kenapa, Kak?”
“Gak pa-pa.” Duh… bego banget sih.
Aku menghentikan sepeda di tepi jalan, di bawah pohon yang rindang, ups.. cukup rindang. Lophey turun dari boncengannya.
“Ada apa, Kak?” Lophey terheran-heran. “Apa sepedanya kempes lagi?”
“Gak. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Kataku takut-takut.
“Ada apa ya?” tanyanya penasaran.
“Ehm… mungkin ini gak sopan banget.” Jeda sebentar. “ Tapi… aku, aku harus ngomong juga pada akhirnya. Ehmm…Would you be my girlfriend?” Wuih… lega juga bisa ngungkapin perasaanku, setidaknya. Tapi… gimana kalo dia… ihh.. udah ah.
Lophey terkejut mendengar pernyataanku barusan. Ia terlihat berpikir keras. “Ehm… maaf Kak…”
Yah… alamat ditolak nih. Ya udah deh gak pa-pa. Pasrah. “Ya aku tau kok, Phey.”
“Aku gak bisa jawab sekarang.”
Fiuh… kirain.. gak pa-palah. Toh masih ada kemungkinan aku diterima kan. He…
Aku hanya mengangguk tolol. Oh my God.. Lophey kan lagi sakit, ngapain ku berhenti di tengah jalan sih.. Goblok banget gue.
“Ya udah naik. Kamu harus istirahat. Sorry ya?”
Ia hanya mengangguk kecil. Ia terlihat lucu,he…

Perasaanku pagi ini tidak menentu. Aku teringat akan Lophey. Ada apa ya? Pertanyaan itu mengangguku. Terus menerus. Aku menambah kecepatan MP kesayanganku. Ya, hari ini aku memaksa Ayah untuk mengijinkanku membawa motor. Berhasil. Perasaanku semakin tidak keruan ketika mendekati rumahnya. Banyak orang berkerumun di sana. Aku memarkir motorku asal-asalan, dan memberanikan diri menghampiri rumah itu, rumah Lophey. Isak tangis terdengar semakin keras. Orang-orang itu menatapku dengan iba, seperti melihat orang tua renta yang tidak makan selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Aku menerobos kerumunan itu, terus melangkah, dan tiba-tiba saja ada seorang ibu-ibu yang menghampiriku, masih dengan isak tangisnya.
“Lophey, nak Ichi, Lophey….” Ucapnya diantara isak tangis yang semakin deras.
“A-ada apa dengan…. Lophey?” hatiku semakin tak keruan. Sungguh.
“Dia…dia…”
Belum sempat Tante Aini menyelesaikan kalimatnya, aku sudah berlari ke dalam rumah Lophey. Dadaku semakin sesak saat melihat tubuh Lophey yang sudah tak berdaya itu.
“Loph….”
“Ichhhhhiiiiiiiii….!”
Aku terlonjak bangun, gelagapan mencari sumber suara itu. Anak-anak yang lain menertawakanku Ya ampuuunnn suaranya, hemm... kayak halilintar deh. Kepalaku mulai terasa pusing.
“Sudah berapa kali kamu tidur di kelas saat pelajaran sedang berlangsung, heh?” terdengar suara Bu Sonia yang super galak itu, lagi.
Ya ampun… ternyata tadi cuma mimpi aja? Haaaahhh? Urghhh sebel…..!!
“Ichi, kamu dengar pertanyaan Ibu barusan tidak? Jawab!” suara Bu Sonia kembali menggelegar, melihat Ichi yang diam saja.
Ichi yang sedang melamun kembali terlonjak. “Bu, kira-kira aku udah tidur berapa jam ya?” aku berpikir keras, tak mengacuhkan pertanyaan Bu Sonia.
“Ichi…” Bu Sonia terlihat sangat geram.
Tet…tet…tet…
Terdengar bunyi bel istirahat. Bu Sonia membereskan buku-bukunya dan segera meninggalkan kelas.
Aku keluar kelas, mengikuti anak-anak yang lainnya. Kantin adalah tujuanku. Ya, aku butuh sesuatu yang fresh. Saat aku melewati kelas XI IPS 1, aku melihat dia. Ya, betul. Dia. Dia melihatku, dan…. tersenyum padaku. Aku mengenal senyum itu.
“My Lophey…”


Cerita ini hanya fiktif belaka, jika terdapat kesamaan baik nama maupun peristiwa, sorry…. emang sengaja. :D

CU next time…:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar