Rabu, 17 Maret 2010

Matahari Desember


Bel tanda pelajaran telah usai berbunyi nyaring, menimbulkan tarikan nafas lega dan senyum kecil disudut-sudut bibir anak-anak XI IPS 1. Seorang gadis, dengan tergesa-gesa memasukkan buku-buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas warna biru miliknya, lalu melangkah keluar kelas.
“Buru-buru amat, Ghe.” Kata gadis yang duduk semeja dengannya.
“Udah ditunggu.” Kata gadis yang ternyata bernama Ghea itu. “Duluan ya?”
Dengan langkah-langkah panjang Ghea menyusuri koridor sekolah menuju kantin. Yang pastinya sudah ada seseorang yang menunggunya.


“Cepat banget,” kata seseorang cowok begitu Ghea duduk di depannya.
“Kalo lama katanya lama, udah dari tadi, Dave?” ucap Ghea dengan seulas senyum yang dirasa manis. Lalu memesan bakso dan orange juice kesukaannya.
“Lumayanlah. Apa gak sebaiknya kamu istirahat di rumah aja, Ghe?” katanya sambil meminum softdrink yang dipesannya dari tadi.
“Gak mau. Aku mau nonton kamu latihan. Aku dilarang main basket tanpa alasan yang jelas, padahal beberapa hari lagi ada event besar yang udah ku tunggu-tunggu, sekarang aku juga dilarang nonton kamu latihan. Ini gak adil tau gak?” kata Ghea. Mukanya merah karena marah.
“Aku ngerti, tapi kamu kan lagi sakit sayang.” Kata Dave, terlihat khawatir.
“Aku tuh gak sakit, Dave. Aku sehat-sehat aja. Kenapa sih sekarang semuanya over protektif banget ma aku. Aku tuh gak kenapa-napa.” Kata Ghea ketus.
Beberapa hari yang lalu saat latihan basket, Ghea tiba-tiba jatuh pingsan. Dave, pacar Ghea, kebingungan dan langsung menelepon ambulance, lalu Ghea dibawa ke rumah sakit terdekat. Dan setelah kejadian itu, semuanya berubah. Ghea tidak diizinkan main basket lagi oleh orangtuanya, juga pelatihnya, padahal Ghea salah satu atlet basket terbaik di sekolahnya, SMA Negeri 46 Pekalongan. Dave dan teman-temannya juga menunjukkan perhatian yang kadang dirasa berlebihan olehnya.
Pembicaraan terhenti ketika pesanan Ghea datang. Selama beberapa detik tak ada yang bersuara, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Dave?” ujar Ghea memecah kesunyian yang terasa begitu menyakitkan.
Dave mengangguk tanda setuju, lalu tersenyum, memamerkan lesung pipinya. “Abisin donk makanannya, jangan lupa minum obatnya ya?” katanya mengingatkan Ghea.
“Oke bos,” ucap Ghea setengah hati.
“Dave dipanggil ma Pak Dwi, segera ya!” kata anak basket yang baru saja masuk ke kantin.
“Ghe, aku ke sana dulu, sebentar kok. Jangan lupa diminum ya obatnya?” kata Dave, lalu bergegas meninggalkan kantin menuju ruangannya Pak Dwi.
15 menit berlalu dengan menjemukan. Dave bergegas kembali ke kantin setelah berdiskusi singkat dengan Pak Dwi, pelatih basket sekolahnya.
Sesampainya di depan kantin, matanya tertuju pada tempat sampah di depannya. Lalu dia bergegas masuk, menghampiri Ghea yang tengah minum orange juice keduanya.
Wajah Dave menunjukkan kesedihan yang amat dalam. Dan Ghea menyadari perubahan itu. “Ada masalah?” Ghea terlihat cemas.
Dave terdiam begitu lama. Ghea benar-benar gak ngerti, dia hanya terbengong melihat sikap Dave yang gak seperti biasanya, bukan Dave banget. Ada apa dengan Dave? Hingga Dave hampir menangis didepannya? Batin Ghea.
“Kenapa kamu gak minum obatnya?” tanya Dave sangat dingin, matanya yang hitam menatap tajam Ghea. “Kamu buang obatnya di tempat sampah kan? Aku sayang banget ma kamu, Ghe. Tapi, kenapa kamu gak sayang pada dirimu sendiri.?” Dave menambahkan, begitu lirihnya hingga Ghea hampir-hampir gak mendengar.
Hati Ghea tersentuh juga oleh sikap Dave, yang ternyata sangat menyayanginya. Hanya karena dirinya gak minum obat Dave hampir menangis di depannya.
“S-sorry, aku akan minum obatnya. Aku janji, sekarang aku mau minum obat tanpa kamu suruh sekalipun dan gak akan membuangnya lagi.” Katanya takut-takut.
Dave tersenyum kecil, tak terasa setetes air mata, yang sedari tadi ditahannya, jatuh di pipinya. Cepat-cepat ia usap, gak mau ada orang lain yang melihatnya.
Setelah Ghea meminum obatnya, Dave dan Ghea bergegas ke lapangan basket.
Cewek yang bernama lengkap Anggia Saphira Aurelia itu biasa dipanggil Ghea. Cewek yang hobi banget ama yang namanya sport itu, tak hanya cantik tapi juga cerdas. Udah dua tahun ini dia jalan bareng ama Dave, yang bernama lengkap Davian. Dia benci banget ama yang namanya sakit, walaupun akhir-akhir ini dia merasakan bahwa kepalanya sering pusing, tapi dia tidak mau mengakuinya. Dia tidak mau dirinya kelihatan lemah di mata orang lain, apalagi di depan Dave.


Event besar yang dinanti-nanti anak basket pun tiba. Hari ini sudah memasuki babak semi final. Ghea tak pernah absen menontonnya, dia selalu hadir saat sekolah tercintanya bertanding. Beginikah rasanya menjadi seorang suporter? tanyanya pada diri sendiri. Tidak mengenakkan. Sebenarnya dia tak mau berdiam diri saat teman-temannya bertanding di lapangan, tapi apa daya, dia sekarang hanyalah pesakitan yang selalu merepotkan orang lain. Dia tak tahu penyakit apa yang telah menggerogoti tubuhnya. Dia benci banget dengan keadaannya sekarang, yang selalu merepotkan semua orang, terutama Dave. Saat Zelvi, teman karibnya yang juga anak basket, memasukkan bola ke ring lawan, yang berarti menambah angka untuk timnya tercinta, tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan Ghea jatuh tak sadarkan diri.


Saat Ghea membuka matanya, dia bisa melihat Dave, Zelvi dan Pak Dwi, walaupun secara samar-samar. Dave terlihat tegang tapi sedikit lega setelah melihat Ghea tersadar. Setelah Ghea pingsan tadi, segera dia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Semua temannya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.
“Dave,” ucap Ghea lirih hampir seperti bisikan.
“Aku disini, Ghea.” Sahut Dave, mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Ghea.
“Ghe, tim kita masuk final.” Kata Zelvi, yang berdiri didekat Dave. “Gue sama anak-anak basket berjanji akan membawa kemenangan itu buat elo, special for you. Kita mau ngebuktiin ke elo kalo kita bisa walaupun tanpa elo.” Zelvi menambahkan, tersenyum sambil menahan air mata yang siap meluncur kapan saja.
Ghea tersenyum lemah.
Dave menggenggam erat tangan Ghea. Dia takkan sanggup bila harus berpisah dengan Ghea, dia takkan sanggup menghadapi kenyataan bila akhirnya Ghea meninggalkannya sendiri. “Kau akan baik-baik saja.” Katanya menenangkan Ghea, tapi sejujurnya, dia menenangkan dirinya sendiri.
“Cepat sembuh ya, Ghe.” Kata Pak Dwi yang sedari tadi diam. “Sebaiknya kita keluar, kita berikan kesempatan pada yang lain yang ingin menjenguk Ghea.” Membimbing Zelvi keluar. Setelah beberapa langkah dia berhenti, berbalik dan menatap Dave yang masih menggenggam erat tangan Ghea.
“Aku ingin bersamanya,” katanya, menjawab tatapan Pak Dwi.
Pak Dwi tersenyum penuh arti kepada Dave. Berbalik, lalu melangkah menuju pintu.
“Aku pulang dulu ya, Ghe.” Kata Dave, setelah satu jam dilalui dengan menyakitkan.
“Aku akan sangat merindukanmu, Dave.” Ucap Ghea dengan suara tak jelas.
“Me too,” kata Dave, lalu dengan manis mencium kening Ghea.
Tak lama kemudian, Dave sudah berjalan menyusuri koridor rumah sakit.


Sepanjang hari itu Ghea tak sabar menanti teman-temannya. Dia tak bisa memejamkan matanya, padahal dokter menyuruhnya untuk istirahat barang sejenak.
Yang dinanti pun tiba, dia bisa mendengar suara Zelvi di luar sana. Hatinya terasa begitu bahagia, tapi segera saja rasa bahagia itu tergantikan oleh perasaan sedih yang begitu kuatnya, saat mendengar isakan tangis sahabatnya, Zelvi. Apakah timnya kalah? Pikirnya.
Pintu kamar tempat Ghea dirawat terbuka, Zelvi dan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik, yang tak lain dan tak bukan adalah Mamanya sendiri, memasuki kamar dan menutup pintu dibelakangnya. Tapi….dimana Dave? Pikir Ghea.
“Ghea….. tim kita menang, sekolah kita berhasil memperebutkan juara 1 baik cewek maupun cowok. Kita semua udah nepatin janji ke elo.” Kata Zelvi, suaranya bergetar, menahan air mata.
Ghea tak merasa gembira mendengar kabar ini, dia yakin tangis Zelvi tadi bukan tangis bahagia karena telah memenangkan pertandingan basket, Ghea yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan darinya. Tiba-tiba ia teringat Dave, dia merasa sangat merindukannya.
“Dimana Dave?” tanya Ghea dengan suara menggumam dan tak jelas.
Tak ada yang menjawab, Ghea merasakan belaian lembut tangan Mamanya, lalu Ghea mendengar semuanya menangis. Perasaannya semakin tak enak sejak kedatangan Zelvi tadi.


Di suatu pagi yang dingin, Ghea duduk di pojok lapangan basket dekat rumahnya, tempat di mana ia dan Dave sering main basket bareng. Tapi sekarang ia sendiri, tak ada Dave di sampingnya. Takkan pernah ada. Dari mulut Zelvi mengalirlah cerita kalau kecelakaan tragis telah memanggil Dave untuk selama-lamanya, siang itu, siang setelah pertandingan final basket berakhir, sebelum menemui Ghea di rumah sakit.
Tak ada air mata yang keluar, meski dadanya sesak menanggung kesedihan yang teramat ini seorang diri. Takkan ada lagi Dave yang menjadi tempatnya berkeluh kesah. Takkan ada lagi, Dave yang menjadi tempatnya bersandar. Takkan ada lagi, Dave yang menjadi tempatnya berbagi tangis dan tawa. Dan takkan ada lagi Dave untuk selama-lamanya. Ghea yakin, tak lama lagi ia akan bertemu dengan Dave, meski bukan di dunia ini tentu saja. Please, wait me, Dave. Aku takkan membiarkanmu kesepian di sana, ucap Ghea dalam hati. Awan mendung mengiringi langkah-langkahnya meninggalkan kenangannya akan Dave.


Look into my eyes, Dave…
You will see how sad I am
I always want you to be mine
But now…
I really feel, I am losing you
But… it is not so bad
You are only the best I ever had

Look into my eyes, Dave…
You will see how much I love you
We will always be together
And our love will never die
You are just the best I ever had
The best I ever had…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar